Serang,fesbukbantennews.com (4/9/2025) – Pengeroyokan wartawan dan staf Humas Kementerian Lingkungan Hidup di Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, Banten, pada 27 Agustus 2025, menjadi tamparan keras bagi dunia pers. Jurnalis yang seharusnya bekerja untuk publik justru menjadi korban kekerasan. Ironisnya, alih-alih dilindungi, mereka kerap dituding sebagai pengganggu stabilitas.
Kasus serupa terlihat di gedung DPRD Pandeglang, Banten, pada 2 September 2025, ketika ucapan merendahkan wartawan dilontarkan secara terang-terangan oleh pejabat publik. Ini menunjukkan rendahnya penghormatan terhadap pers di ruang publik.
Lebih jauh, represi juga menimpa mahasiswa. Kasus tragis meninggalnya Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, yang tewas pada 31 Agustus 2025 di depan Mapolda DIY saat aksi demonstrasi, menegaskan betapa berbahayanya situasi kebebasan berekspresi di negeri ini. Demonstrasi yang seharusnya jadi kanal partisipasi politik justru berubah menjadi arena kekerasan aparat. Jika mahasiswa dan jurnalis sama-sama menjadi korban, pertanyaannya: siapa lagi yang bisa bersuara tanpa rasa takut?
Padahal, UUD 1945 Pasal 28F secara tegas menjamin hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. UU Pers No. 40/1999 juga menyatakan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, dan pers berfungsi sebagai kontrol sosial. Namun kenyataannya, kebebasan ini dipreteli. Instrumen hukum seperti UU ITE dan regulasi penyiaran sering dipakai sebagai palu godam, lebih sering menghantam pengkritik ketimbang penyebar hoaks. SAFEnet mencatat, mayoritas kasus UU ITE justru diarahkan pada masyarakat yang bersuara kritis.
Di titik ini kita melihat pola yang konsisten: negara semakin alergi terhadap kritik. Pengeroyokan wartawan di Serang bukan insiden sepele, melainkan refleksi dari kultur anti-transparansi. Ucapan merendahkan di DPRD Pandeglang menunjukkan bahwa penghinaan terhadap pers sudah dianggap lumrah di ruang kekuasaan. Dan kematian Rheza di Yogyakarta menjadi bukti paling telanjang bahwa represi aparat bisa merenggut nyawa. Jika suara mahasiswa saja bisa dipatahkan dengan gas air mata dan pentungan, apa lagi ruang aman bagi warga biasa?
Jika pola ini dibiarkan, logikanya memang sekalian saja hapus jurusan Ilmu Komunikasi di kampus. Untuk apa mahasiswa diajarkan tentang etika jurnalisme, kebebasan informasi, atau teori komunikasi, jika praktik di lapangan menunjukkan bahwa jurnalis dipukuli, mahasiswa dibungkam, dan kritik dicap ancaman stabilitas? Ilmu Komunikasi, dalam logika represi negara, jadi ironi: ia mengajarkan keberanian bicara, sementara kekuasaan menuntut diam.
Ingat, jurnalis bukan musuh, melainkan pilar demokrasi yang wajib dihormati. Tugas mereka adalah menyampaikan kebenaran, bukan menciptakan kekacauan. Ketika jurnalis dipukul, mahasiswa ditindas, dan warga sipil dikriminalisasi hanya karena bersuara, itu bukan sekadar masalah profesi atau kelompok tertentu, itu ancaman langsung terhadap demokrasi. Karena begitu ruang komunikasi dihancurkan, yang runtuh bukan hanya Ilmu Komunikasi di kampus, melainkan masa depan kebebasan kita bersama. (LLJ).
Penulis : Funky Ramadhan (relawan fesbuk banten news).