Pengacara Terdakwa : Harusnya Kepala Bappeda dan plt Sekda Banten Jadi Tersangka Hibah

0
364

Serang,fesbukbantennews.com (19/10/2021) –  Kuasa hukum dari terdakwa dugaan korupsi dana hibah. Ponpes Irvan Santoso, Alloys Ferdinand meminta majelis hakim menetapkan Mahdani selaku sekretaris Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menjadi tersangka kasus hibah pondok pesantren tahun 2018 dan 2020. Alloy juga menyatakan bahwa plt Sekda Banten Muhtarom seharusnya ikut jadi tersangka korupsi yang merugikan keuangan negara Rp70 miliar tersebut.

Plt Sekda Banten saat jadi Saksi.

Demikian terungkap dalam sidang lanjutan korupsi dana hibah bansos ponpes di pengadilan Tipikor PN Serang, Senin (18/10/2021) yang dipimpin hakim Selamet Widodo dengan Jaksa Penuntuy Umum (JPU) Yusuf dan rekan, dengan agenda sidang mendengarkan Saksi Mahdani dan Muhtarom.

“Berdasarkan KUHAP, kami meminta saksi ini ditetapkan tersangka, karena saksi ini memiliki peran aktif,” kata Alloys.

Pengacara Irvan menilai , Mahdani terlibat dan berperan aktif dalam perencanaan dan pencairan hibah padahal tidak sesuai dengan aturan Pergub Nomor 10 tahun 2019 tentang Pedoman Pemberian Hibah.

Mahdani dihadirkan sebagai saksi sewaktu menjabat sebagai Kepala Adpem Pemprov Banten 2016-2020 sekaligus sekretaris Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Saat ini ia menjabat sebagai Kepala Bappeda.

Permintaan agar menjadikan Mahdani sebagai tersangka karena dinilai orang yang bertanggungjawab. Ia juga meloloskan nota dinas Biro Kesra malah menjadi rekomendasi pencarian hibah tahun 2018 senilai Rp 66 miliar.

Permintaan ini muncul juga karena saksi dinilai oleh kuasa hukum memberikan kesaksian berbelit-belit dan ditutupi. Khususnya soal rekomendasi FSPP sebagai penerima hibah 2018. Padahal katanya terdakwa Irvan selaku Biro Kesra tidak memberi rekomendasi dan memberi catatan di nota dinas. Nota itu juga malah dianggap olehnya sebagai rekomendasi dan dilanjutkan ke pembahasan TAPD.

“Dia bilang hibah berdasarkan rekom berdasarkan Pergub. Padahal ini yang datang nota dinas (ke TAPD), kenapa dia catat. Berarti dia sebagai yang bikin ini menjadi runyam. Karena berdasarkan Pergub ini harusnya adalah rekom, karena dia yang mengasumsikan nota dinas sebagai rekomendasi,” ujarnya.

Di hadapan majelis, saksi Mahdani sendiri mengaku tidak ingat soal rekom dari Biro Kesra ke sekretariat TAPD. Ia juga tidak tahu bahwa ada usulan ke Bappeda mengenai pemberian hibah atas perintah gubernur Banten

“Saya tidak tahu, yang saya tahu rekomendasi FSPP,” ujarnya.

Alloys mengatakan, saksi sebetulnya tahu bahwa kepala Bappeda sebelumnya berkomunikasi dengan TAPD mengenai permintaan gubernur soal hibah Rp20 juta. Bappeda juga meminta saksi untuk koordinasi dengan Biro Kesra.

“Saksi datang ke ruang kerja terdakwa, menyampaikan ke Irvan segera jalankan perintah gubernur karena ini jadi perintah,” ujarnya.

Namun, saksi sendiri membantah dan mengaku tidak ingat ada perintah itu. Menurutnya itu di luar kewenangannya sebagai sekretaris TAPD.

Ketua majelis hakim, Slamet Widodo juga memberi peringatan ke saksi untuk memberi penjelasan yang gamblang dan tidak berputar-putar. Para saksi sebelumnya katanya memberikan keterangan yang gamblang.

“Perlu dibuktikan keterangan saksi ini benar atau tidak. Sepanjang ini keterangan saksi memang hanya berputar dan tidak menerangkan sejelas-jelasnya. Banyak saksi kemarin menerangkan, kita punya gambaran, karena kita berkutat dengan alat bukti,” kata hakim.

Menurut majelis, saksi dari TAPD sebelumnya menggambarkan soal peran masing-masing orang dalam penganggaran hibah. Baik jaksa dan penasehat hukum katanya berhak mendapatkan keterangan yang sebenarnya.

“Saksi kemarin menggambarkan soal hibah ini siapa yang berperan sudah kita ketahui. Tinggal saksi ini menambah bagaimana kesaksian yang benar ini tinggal bagaimana,” ujar majelis.

Usai sidang,pengacara Irvan Santoso juga mengatakan, bahwa Plt Sekda Muhtarom pun sudah seharusnya jadi tersangka. 

“Mereka berdua harusnya jadi tersangka juga, karena mereka TAPD dan mengetahui dengan jelas prosedur lencairan dana ,” kata Alloys.

Untuk diketahui, untuk mengungkap kasus korupsi hibah Ponpes ini, tim penyidik Pidsus dan Intel Kejati Banten telah memeriksa ratusan saksi, atas dugaan korupsi dana hibah Ponpes tahun 2018 senilai Rp 66,280 miliar dan tahun 2020 sebesar Rp 117 miliar.

Dari pemeriksaan terhadap beberapa Ponpes penerima bantuan. Ada dua modus yang dilakukan dalam tindak pidana korupsi ini.

Pertama yaitu pesantren fiktif seolah penerima bantuan padahal penadah. Kedua penyaluran (bantuan) lewat rekening tapi begitu sudah sampai cair masuk ke rekening pondok tapi diminta kembali, untuk dipotong.

Pemotongan bantuan setiap Ponpes berbeda-beda, yaitu dari Rp15 juta hingga Rp20 juta, penerima bantuan tidak secara utuh menerima bantuan Rp40 juta untuk setiap pesantren.(LLJ).