Serang,fesbukbantennews.com (14/8/2025) – Kisruh demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati yang memprotes sikap Bupati Pati, dan gelombang penolakan masyarakat Pandeglang atas kebijakan kerja sama penanganan sampah dengan Kota Tangerang Selatan, adalah cermin buram dari relasi kekuasaan yang terbalik: rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi justru menjadi pihak yang dipinggirkan.
Dalam teori demokrasi modern, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya, setiap kebijakan publik semestinya lahir dari aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat, bukan dari kemauan sepihak pejabat yang sedang berkuasa. Namun yang terjadi di Pati maupun Pandeglang menunjukkan pola yang mirip: kebijakan strategis dibuat secara top-down, minim partisipasi publik, dan ketika rakyat bersuara, respon yang muncul sering kali defensif bahkan cenderung represif.
Kasus di Pati menunjukkan bagaimana sikap arogan seorang kepala daerah dapat memantik eskalasi ketidakpercayaan. Sementara di Pandeglang, kerja sama penanganan sampah yang sejatinya bisa dikelola dengan komunikasi terbuka dan analisis dampak yang transparan, justru menimbulkan resistensi luas karena publik merasa tidak dilibatkan sejak awal. Rakyat tidak diberi ruang memadai untuk memahami, menilai, apalagi menyetujui rencana tersebut.
Fenomena ini selaras dengan kritik klasik dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Ketika kekuasaan tidak diawasi dengan partisipasi publik yang sehat, pejabat mudah terjebak dalam keyakinan bahwa mereka tahu yang terbaik, sekalipun kenyataannya berseberangan dengan suara rakyat.
Padahal, dalam konsep good governance menurut UNDP, partisipasi publik adalah pilar utama tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan yang lahir tanpa melibatkan rakyat berisiko gagal, bahkan memicu konflik horizontal dan vertikal. Demonstrasi di Pati dan Pandeglang adalah peringatan keras bahwa mengabaikan aspirasi warga adalah tindakan yang merusak legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Kita perlu mengingatkan para pemegang jabatan publik: kekuasaan yang mereka pegang hanyalah mandat, bukan hak milik. Rakyatlah yang memberi mandat itu, dan rakyat pula yang berhak mencabutnya. Jika pejabat terus memaksakan kebijakan tanpa keterlibatan publik, mereka sedang menggali jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat, jurang yang sulit dijembatani kecuali dengan kesadaran untuk kembali pada prinsip dasar demokrasi: kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.(FUN/LLJ).
*Penulis : Saepul Wijaya, Relawan Fesbuk Banten News