Surati Presiden, Rekonvasi Bhumi : Skema Pembiayaan SDA di DAS Cidanau Tumpang Tindih

0
19
Direktur Eksekutif LSM Rekonvasi Bhumi NP Rahadian.

Serang,fesbukbantennews.com (27/9/2025) – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rekonvasi Bhumi menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia terkait persoalan tata kelola pembiayaan sumber daya air (SDA) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau, Provinsi Banten. Surat dengan nomor 011/RB/IX/2024 tersebut menyoroti adanya tumpang tindih regulasi antara skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH) dan Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA).Direktur Eksekutif LSM Rekonvasi Bhumi NP Rahadian.

Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi NP Rahadian menyebutkan bahwa DAS Cidanau telah menjadi sumber air baku utama bagi masyarakat dan industri di Kota Cilegon. Sejak 1998, pengelolaan DAS ini dilakukan melalui kolaborasi multi pihak yang tergabung dalam Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), sesuai amanat PP Nomor 37/2012 dan Permen Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2013.

“Lebih dari 19 tahun terakhir, FKDC mengembangkan mekanisme PJLH yang melibatkan 573 anggota masyarakat dari 13 Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai penyedia jasa lingkungan, dengan dukungan sejumlah perusahaan pemanfaat air bersih dan industri kimia di Kota Cilegon. Skema PJLH ini dinilai berhasil menjaga keseimbangan ekologi, sosial, dan ekonomi, sekaligus menjadikan DAS Cidanau sebagai contoh praktik baik (best practices) yang diakui hingga tingkat internasional,” ujar peraih penghargaan Kalpataru pada 2010 ini

Namun, keberlanjutan PJLH kini terancam. Hal ini dipicu oleh Keputusan Menteri PUPR Nomor 1476/KPTS/M/2024 tentang tarif BJPSDA, yang merupakan turunan dari UU Nomor 17/2019 tentang Sumber Daya Air. Rekonvasi Bhumi menilai, pelaksanaan BJPSDA oleh Perum Jasa Tirta II berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan insinkronisasi dengan skema PJLH yang sudah berjalan.

Dua Skema, Dua Arah

Dalam suratnya, Rekonvasi Bhumi menjelaskan perbedaan mendasar antara BJPSDA dan PJLH.

BJPSDA diinisiasi oleh Kementerian PUPR, bersifat wajib (mandatory), dengan tarif yang sudah ditetapkan. Dana pungutan digunakan untuk pembiayaan pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai yang sama, termasuk biaya perencanaan, konstruksi, operasi, hingga pemberdayaan masyarakat. Namun, dana tidak secara khusus kembali ke DAS asal, sehingga prinsip “water back to water” tidak terjamin.

PJLH, di sisi lain, diinisiasi oleh KLHK dengan sifat mandatory–voluntary. Besarannya ditentukan melalui negosiasi antara pemanfaat dan lembaga perantara, yakni FKDC. Dana yang terkumpul kembali sepenuhnya ke DAS Cidanau untuk konservasi, pengendalian pencemaran, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Skema ini berbasis kinerja (performance-based), sehingga setiap pembayaran langsung terkait dengan aksi nyata pelestarian DAS.

NP Rahadian menilai, penerapan BJPSDA tanpa sinkronisasi berpotensi menegasikan skema PJLH. “Pungutan BJPSDA bisa meningkatkan harga air, menekan daya saing industri, menghambat investasi, dan memutus insentif bagi masyarakat hulu yang selama ini terlibat dalam menjaga DAS,” tulis Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi dalam surat tersebut.

Dampak terhadap Investasi dan Ekonomi Banten

Dalam suratnya, Rekonvasi Bhumi juga menyoroti dampak ekonomi dari kebijakan BJPSDA. Dengan pemberlakuan tarif baru, harga air berpotensi naik sehingga biaya produksi industri ikut meningkat. Kondisi ini dianggap memperburuk daya saing produk industri Cilegon, sekaligus mengurangi minat investasi di Banten. Padahal, Banten saat ini masih mencatat tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia, yakni 7,52 persen.

Rekonvasi Bhumi mengusulkan beberapa langkah korektif kepada Presiden agar tata kelola pembiayaan SDA lebih adil dan sinkron, di antaranya:

1. Berkeadilan – BJPSDA tidak diberlakukan bagi DAS yang telah menerapkan PJLH secara efektif dan transparan.

2. Tepatguna – Pungutan BJPSDA dikaji ulang untuk DAS yang tidak memiliki infrastruktur PUPR.

3. Terintegrasi – Perlu sinergi antara Kementerian PUPR dan KLHK dalam kerangka Integrated Water Resource Management (IWRM).

4. Sinkronisasi – Regulasi BJPSDA harus selaras dengan PJLH agar tidak saling meniadakan manfaat dan fungsi.

LSM Rekonvasi Bhumi berharap, penyelesaian masalah ini dapat mendukung pencapaian Visi Indonesia Emas 2045, khususnya dalam transformasi tata kelola, penerapan ekonomi hijau, serta penguatan ketahanan ekologi.(LLJ).

sumber : bantennews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here