Larangan Pelajar Ikut Demonstrasi: Membatasi Hak atau Melindungi Anak? (Oleh : Funky R *)

0
174
Funly Ramadhani,relawan fesbuk Banten News

Serang,fesbukbantennews.com (9/9/2025) – Belakangan ini, gencar Kapolda Banten Brigjen Pol Hengki gencar mengimbau para pelajar SMA dan SMK tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi. Alasannya sederhana: risiko provokasi, keamanan, serta keselamatan siswa yang masih di bawah umur. Imbauan ini didukung Dinas Pendidikan Provinsi Banten dan diperkuat dengan Surat Edaran yang ditandatangani Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti.Funly Ramadhani,relawan fesbuk Banten News

Surat Edaran tersebut ditujukan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia melalui Kepala Dinas Pendidikan. Isinya secara tegas melarang pelajar SMP, hingga SMA/SMK ikut turun ke jalan dalam aksi demonstrasi. Dalih yang digunakan adalah faktor keselamatan dan menjaga ketertiban proses belajar-mengajar.

Namun, kebijakan ini memicu perdebatan. Di satu sisi, aparat dan pemerintah beralasan demi melindungi anak. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini juga dinilai sebagai pembatasan, bahkan pembungkaman hak pelajar untuk menyampaikan perspektif mereka.

Pasal 28E UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juga mengatur kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Hak fundamental ini berlaku untuk setiap kepala warga negara Indonesia, termasuk para pelajar.

Karena itu, larangan total terhadap keterlibatan pelajar dalam demonstrasi berpotensi bertentangan dengan semangat konstitusi. Jika alasan keselamatan dijadikan dasar, maka yang seharusnya dilakukan adalah memberi perlindungan dan pendampingan, bukan sekadar menutup ruang partisipasi mereka.

Pemerintah berargumen bahwa demonstrasi sering berujung ricuh dan membahayakan keselamatan anak. Data menunjukkan bahwa banyak pelajar yang diamankan saat aksi anarkis, dan mereka kemudian dipulangkan ke orang tua. Pendekatan ini dipandang sebagai langkah preventif yang wajar.

Namun, ketika Mendikdasmen mengeluarkan larangan nasional yang bersifat menyeluruh, logika perlindungan bisa bergeser menjadi pembungkaman. Pelajar kehilangan ruang untuk melatih kesadaran politik dan partisipasi sosial. Padahal, demokrasi justru menuntut adanya ruang aman bagi semua warga, termasuk generasi muda, untuk belajar bersuara.

Melindungi pelajar tidak harus berarti melarang mereka bersuara. Negara seharusnya Menyediakan ruang alternatif ekspresi di sekolah, seperti forum aspirasi, simulasi sidang, atau dialog pelajar dengan pemerintah daerah. Negara juga seharusnya memperkuat pendidikan demokrasi agar pelajar memahami substansi isu dan cara menyampaikan pendapat yang damai. Negara harus membimbing, bukan melarang, sehingga pelajar belajar bertanggung jawab dalam menggunakan kebebasan berekspresi.

Larangan demonstrasi bagi pelajar yang digencarkan Kapolda Banten dan Mendikdasmen Abdul Mu’ti perlu dilihat secara lebih kritis. Jika hanya berhenti pada kata “dilarang”, kebijakan ini berisiko melahirkan generasi yang apatis terhadap isu publik. Padahal, kebebasan berekspresi adalah mandat konstitusi, bukan pemberian pemerintah.

Hak menyampaikan pendapat bukan hanya milik orang dewasa, tetapi juga bagian dari pembelajaran demokrasi bagi para pelajar. Yang dibutuhkan bukan pembungkaman, melainkan bimbingan dan ruang aman agar generasi muda bisa tumbuh menjadi warga negara yang kritis, berani, dan bertanggung jawab.(fun/LLJ).

* Funky Rhamadani : Relawan Fesbuk Banten News

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here