Serang,fesbukbantennews.com (2/9/2025) – Di perempatan lampu merah Ciceri, Kota Serang, sebuah pos polisi yang hangus terbakar amarah massa kini kembali berdiri dengan wajah baru. Cat segar menutupi bekas luka api, seolah ingin menghapus jejak tragedi. Polisi bersama pengemudi ojek online bergotong royong memberi warna baru pada bangunan yang dulu menjadi simbol benturan emosi. Pemandangan ini, sepintas, seperti potret rekonsiliasi. Namun, apakah cat itu mampu menutup retakan hukum yang sebenarnya lebih dalam?
Mari kita jujur. Pos polisi itu sejak awal berdiri di atas trotoar, ruang publik yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Ia melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 131 yang jelas mengatur fungsi trotoar. Ironisnya, bangunan yang dimaksudkan untuk menegakkan hukum justru sejak lahir sudah mencederai hukum itu sendiri. Bukankah ini ironi paling telanjang? Sebuah pos penjaga aturan, tapi dirinya sendiri pelanggaran.
Tak bisa dilupakan, penolakan atas pos polisi ini bukan hal baru. Pada 28 Oktober 2014, Pemuda Aliansi Warga Serang yang dikoordinatori Rizal Fauzi dengan lantang menyuarakan keberatan mereka. Suara itu bahkan menggema di ruang publik hingga menjadi pemberitaan di media. Salah satunya ditulis oleh jurnalis Rasyid Ridho di Sindo News. Namun, suara rakyat itu akhirnya tak lebih dari gema yang terpantul, karena pos tetap berdiri, menantang logika keadilan.
Kini, setelah abu dingin tersapu, kita melihat seolah ada keindahan baru: pos itu kembali berwarna, kembali tegak. Tapi bukankah ini seperti menutup luka lama dengan perban lusuh? Cat hanyalah kosmetik, sementara luka hukum tetap menganga. Apa artinya mengecat ulang jika keberadaannya sendiri masih melawan aturan?
Peristiwa ini seharusnya menggugah nurani kita. Bahwa hukum tak boleh hanya tegas kepada rakyat kecil, tapi lembut pada dirinya sendiri. Kita boleh mengecam aksi anarkis yang membakar, tapi kita juga tak boleh menutup mata pada fakta: pos itu sendiri adalah simbol pelanggaran hukum yang dilegalkan.
Mungkin pos itu kini terlihat indah dengan cat barunya. Namun di balik warnanya, tetap ada ironi: hukum yang dipermainkan, suara rakyat yang diabaikan, dan keadilan yang dibiarkan tergelincir di atas trotoar yang seharusnya milik pejalan kaki.
Cat bisa menutupi arang, tapi tidak bisa menutupi kebenaran.(fun/LLJ).