Serang,fesbukbantennews.com (17/11/2025) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Banten masih menghadapi persoalan krusial terkait keamanan pangan. Dari lebih dari 400 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang saat ini sudah beroperasi, baru sekitar 200 yang memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Artinya, setengah dari dapur penyedia makanan untuk program nasional ini masih berjalan tanpa jaminan standar kebersihan yang seharusnya diwajibkan.
Kepala Regional Badan Gizi Nasional (BGN) Banten, Ichsan Rizqiansyah, menjelaskan bahwa proses sertifikasi sedang terus diupayakan agar seluruh SPPG dapat beroperasi dengan standar yang semestinya. Ia mengakui bahwa sebagian besar dapur di Banten memang belum tersertifikasi dan jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 200 unit.
“Kurang lebih ya setengahnya lah, 50 persen. Dari total kurang lebih 400-an SPPG. Sekitar 200-an yang belum disertifikasi,” jelas Ichsan usai audiensi dengan Gubernur Banten di KP3B, Kota Serang , Senin (17/11/25).
Ia menegaskan bahwa penyelesaian sertifikasi menjadi prioritas, terlebih karena Presiden meminta percepatan agar layanan MBG tetap berjalan lancar dan makanan dapat tersalurkan kepada para penerima manfaat tanpa gangguan.
“Bapak Presiden juga minta agar operasional SPPG tetap berjalan dan penerima manfaat tetap terdistribusi,” ujarnya.
SLHS sendiri merupakan sertifikat yang memastikan bahwa dapur pengolah makanan memenuhi standar kebersihan, kelayakan sanitasi peralatan, keamanan proses pengolahan, serta kesehatan penjamah makanan. Tanpa sertifikasi ini, makanan yang disajikan berpotensi diproses dalam kondisi yang tidak memenuhi standar, membuka peluang terjadinya kontaminasi bakteri atau penanganan pangan yang tidak aman.
Dalam konteks MBG yang menyasar anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan, absennya standar higiene dan sanitasi menimbulkan risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan. Banten bahkan sempat diwarnai dugaan kasus keracunan makanan MBG di Lebak, meski Ichsan memastikan bahwa kasus tersebut kini sudah tertangani dan kondisi dinyatakan aman.
“Kalau itu sudah tertangani semua, sudah aman,” ujar Ichsan tentang insiden di Lebak.
Ketiadaan sertifikasi tidak hanya berpengaruh pada aspek kesehatan, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap program MBG. Makanan yang tidak diproduksi dengan standar dapat berakibat pada ketidakpastian mutu dan keamanan, sementara dari sisi regulasi, SPPG tanpa SLHS belum memenuhi ketentuan operasional yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Situasi ini membuat percepatan sertifikasi menjadi kebutuhan mendesak agar program berjalan sesuai aturan dan aman bagi penerima manfaat.
Ichsan juga menjelaskan bahwa beberapa waktu lalu sempat terjadi hambatan administrasi di tingkat pusat yang menyebabkan keterlambatan operasional SPPG. Namun, ia memastikan bahwa proses tersebut kini telah berjalan normal dan mekanisme pencairan sedang disederhanakan agar tidak ada lagi SPPG yang berhenti beroperasi. Ia optimistis bahwa keterlambatan operasional tidak akan terulang dan semua dapur akan terus berjalan sembari melengkapi sertifikasi.
“Untuk itu karena kendalanya administrasi di atas ada perbaikan, sekarang alhamdulillah sudah berjalan dengan normal. Perlahan pencairan itu sedang disederhanakan. Jadi tidak akan ada penutupan lagi,” terangnya
Selain persoalan SLHS, pemerintah juga tengah berupaya mengatasi kekurangan ahli gizi di Banten. Ichsan menyebut bahwa koordinasi dengan perguruan tinggi sedang dilakukan untuk menambah tenaga gizi yang dibutuhkan demi memastikan pengawasan nutrisi berjalan maksimal.
Dengan masih adanya ratusan dapur MBG yang belum bersertifikasi, tantangan pengawasan keamanan pangan di Banten masih cukup besar. Pemerintah kini dituntut mempercepat proses sertifikasi dan peningkatan kompetensi tenaga di lapangan agar program Makan Bergizi Gratis benar-benar aman dan layak dinikmati oleh masyarakat yang menjadi sasaran program.(fun/LLJ).



