NP Rahadian, Peraih Kalpataru dari Banten Nyalon DPD

0
406

Serang, fesbukbantennews.com (29/3/2019) – Prayatna Rahadian atau sering disingkat menjadi NP Rahadian peraih Kalpataru dari  Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010 mencalonkan jadi anggota DPD RI  pada Pemilu 2019 ini di Provinsi Banten.

NP Rahadian.(istimewa).

NP Rahadian direktur eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rekonvasi Bumi yang konsen terhadap pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sejak 1998 ini  didorong oleh masyarakat untuk menjadi anggota DPD. Dengan harapan bila  jadi nanti masalah lingkungan di Banten yang banyak sedikit-sedikit bisa teratasi.

“Ini  semua atas dorongan kerabat , teman dan masyarakat terutama para warga yang gerah akan Kondisi lingkungan di Banten yang semakin miris,” kata NP Rahadian.

NP Rahadian .(istimewa).

NP Rahadian tidak menyangka jika apa yang dilakukannya di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rekonvasi Bumi yang konsen terhadap pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sejak 1998, membawa buah yang manis. Selain mendapatkan kepercayaan untuk mengelola beberapa proyek lingkungan di dalam dan luar negeri oleh beberapa LSM di Eropa, tahun 2010 lalu, LSM Rekonvasi Bumi juga mendapat penghargaan Kalpataru dari presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai LSM perintis lingkungan.

Di balkon tingkat dua, di kantornya yang rimbun dan asri di Jl. Joenoes Soemantri kelurahan Tembong Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang, bapak dua anak itu bercerita banyak  tentang sejarah hidupnya, proyek-proyek lingkungannya, hingga harapan-harapannya terhadap kelangsungan air sebagai sumber kehidupan manusia.

Ketertarikannya pada konservasi lingkungan sudah terbentuk sejak ia masih kecil dan tinggal di Kalimantan. Ayahnya yang seorang pengusaha kayu sering membawanya masuk keluar hutan tiap harinya.

“Itu mungkin cikal bakalnya. Tapi saat mahasiswa juga sempat ikut organisasi pecinta alam, tapi semakin terasah saat mendirikan LSM Rekonvasi Bumi tahun 1998,” ungkapnya.

Awalnya ia tidak pernah bercita-cita menjadi pekerja sosial, apalagi di bidang lingkungan. cita-cita Nana sejak lulus dari SMA 1 Serang tahun 1986 adalah menjadi arkeolog. Menurut Nana, pekerjaan itu tidak menuntutnya untuk berhubungan dengan banyak orang karena sibuk dengan benda-benda mati. Tapi nasib membawanya lain, karena tidak diterima dijurusan arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Udayana, ia banting setir mengambil jurusan Ekonomi Perbankan di Institut Manjamen Koperasi Indonesia (IKOPIN) Bandung.

“Setelah lulus, sempat bekerja disebuah perusahaan kontraktor. Krisis ekonomi ditahun 1997 membuat peusahaan tempat saya bekerja juga turut kolaps. Tahun 2008 saya mulai tertarik pada konservasi lingkungan dan mendirikan LSM Rekonvasi Bhumi pada 13 Desember 1998. Dan tidak menyangka juga pada tahun 2010 bisa mendapatkan penghargaan kalpataru dari presiden,” tutur suami dari Ida Mariyani ini.

Mendapatkan pernghargaan Kalpataru, ungkap Nana, bukanlah tujuan utama yang ia dan rekan-rekan di LSM Rekonvasi Bhumi harapkan. Kelestarian alam terutama air yang bisa memperpanjang kelangsungan hidup manusia adalah tujuan utama. Maka tak heran jika proyek utama yang pihaknya lakukan adalah menjaga sumber air Rawa Cidanau tetap lestari.

“Penghargaan Kalpataru adalah awal membuka mata pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta bahwa menjaga kelestarian alam adalah tanggungjawab kita semua. Jika sumber air cidanau mati, kita bisa membayangkan bagaimana nasib ribuan penduduk dan perusahaan di Cilegon,” tuturnya.

Akhirnya atas kesadaran itu, NP Rahadian  dan rekan-rekannya mengembangkan konsep integrated management yakni manajemen yang terintegrasi yakni satu sungai, satu perencanaan dan satu manajemen. Model ini untuk memadukan kepentingan dan membangun hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan dalam membangun keseimbangan sosial, ekologi, ekonomi.

“Sungai itu selalu dibagi dua yakni hulu dan hilir. Hulu adalah penyangga, dan hilir adalah pengguna. kita tidak bisa serta merta menyalahkan warga dibagian hulu saat terjadi banjir dan kekeringan karena penggundulan hutan. Disana ada tanggungjawab sosial di bagian hilir juga untuk memberdayakan masyarakat hulu, agar persoalan ekonomi tidak menjadi alasan mereka untuk menebang pohon,” tegas dia.

Atas dasar peran multipihak itu yang membuat pria kelahiran Pontianak 20 Juni 1964, akhirnya mengajak pemerintah dan pihak swasta membuat sebuah forum yang diberi nama Forum Komunikasi DAS Cidanau, agar kelestarian DAS Cidanau bisa menjadi tanggungjawab semua pihak dari hulu hingga hilir.

“Sekitar 80 persenjumlah industri besar dan kecil di Cilegon, atau sekitar 120 perusahan termasuk PT KS-Posco menggunakan air dari Cidanau. dengan total kebutuhan air saat ini mencapai 1.100 liter per detik dan diproyeksikan akan mencapai 2.000 liter per detik. Bisa dibayangkan jika sumber air bakunya sendiri hilang, cilegon hanya akan menjadi kota mati,” ungkapnya.

Saat ini saja kerusakan itu mulai terjadi di hulu. Karena faktor kemiskinan, di beberapa hutan penyangga sudah terjadi perambahan, keruskan hidrologis, erosi, sedimentasi, dan ancaman kerusakan Cagar Alam Rawa Danau sehingga akan menjadi ancaman terhadap supply air ke Cilegon.

“Wilayah DAS Cidanau seluas 22.250 hektar berada di kabupaten pandeglang dan Serang. Tetapi sebagian besar airnya disupply untuk wilayah Cilegon. Maka tidak ada alasan karena berbeda administratif maka tidak ada kepedulian dari perusahaan dan pemerintah Kota Cilegon,” ujar lelaki yang juga menjabat sebagai sekretaris Jenderal Forum DAS Cidanau ini.

Dengan penghasilan rata-rata masyarakat yang berdiam di DAS Cidanau hanya Rp2 juta-Rp4 juta pertahun, maka, ungkap Nana, perlu adanya pemberdayaan agar masyarakat tidak menebang pohon-pojhon atas alasan ekonomi. Kerjasama ini akhirnya terwujud dengan PT Krakatau Tirta Industri (KTI) dengan memberikan pemberdayaan terhadap masyarakat yang berdiam di hulu, yakni melalui jasa lingkungan yang melibatkan 200 angggota kelompok tani dengan luas 100 hektar.

“Harus ada kordinasi yang luar biasa di Das Cidanau. Seperti Cirebon yang bayar jasa lingkungan ke Kabupaten Kuningan. Masyarakat dengan kondisi ekonomi seperti itu tidak punya pilihan lain selain menggantungkan hidup pada alam. Pemerintah dan swasta pemakai air dari DAS Cidanau harus punya strategi pemberdayaan ekonomi seperti yang dilakukan KTI,” tutur Nana.

Saat ini, kata Nana, pihaknya juga sedang menjajaki kerjasama dengan PT Krakatu Steel agar mau memberika jasa lingkungan melalui dana Corporate social responsibility (CSR)-nya. Sebagai perusahaan induk, dan pengguna air dari Cidanau seharusnya itu bisa dilakukan oleh PT KS.

“Ini juga bisa digunakan sebagai contoh bagi anak perusahaannya,” ungkap Nana.

Diakhir perbincangan Ayah Ananda Damar Suryadarma Rahadian (17) dan Aninda Dara Zahabiyah (9) yang pernah kursus kilat konservasi lingkungan di Costa Rica pada tahun 2003 ini, mengatakan tanpa support pemerintah dan perusahaan apapun pihaknya tetap akan berjuang agar DAS Cidanau itu tetap lestari.

“Menurutnya persoalan lingkungan tidak pernah bisa dikotak-kotakan oleh batas wilayah. Demi kelangsungan hidup manusia, semuanya ikut bertanggungjawab untuk menjaga kelesatrian alam. Jika boleh membuat agama baru, maka agama itu adalah agama lingkungan,” tegasnya.(LLJ)