Catatan Perjalanan Kunjungan Kesultanan Banten ke Kelantan dan Pattani

0
564

Serang, fesbukbantennews.com (13/3/2018) – “….Sangatlah penting untuk kita tahu sejarah, karena dari sejarah itu kita tahu…
Betapa bahagianya kita jadi Melayu….
Betapa bahagianya kita menjadi Islam….
DAN BETAPA SUSAH PAYAHNYA LELUHUR KITA MEMBANGUN ISLAM….
Maka amat malanglah, amat kasihanlah kepada orng yang bangga pada dirinya, tetapi dia tidak tahu sejarah”

-Abuya Abu Aswad Al-Qubro-
Ulama Kelantan, Pimpinan Pesantren & Ahli Nasab.
KELANTAN DAN RAJA PEREMPUAN

Kelantan, 7 Maret 2018 , Cuaca malam yang cerah menyambut kami saat menginjakkan kaki di Bandara Ismail Petra, Kota Bharu Kelantan jam di Bandara menunjukan pukul 21.30 waktu setempat. Rombongan dari Indonesia yang berjumlah tujuh orang (2 orang dari Kesultanan Banten, 3 orang dari Kesultanan Palembang dan 2 orang dari Pesantren Cirebon) langsung disambut oleh keluarga besar kerajaan dan Penasehat Kerajaan Abuya Abu Aswad Al-Qubro dengan keramahan dan sukacita. Selain karena pertalian sejarah, Sultan Rtb. Hendra Bambang Wisanggeni (Sultan Banten) juga pernah mengunjungi Kelantan beberapa tahun silam.

Lelahnya perjalanan karena sejak subuh kami meninggalkan rumah, terbayar dengan ketulusan dan keramahan penyambutan serta jamuan makan malam di sebuah kedai makan sate di Kota Bharu, hingga akhirnya kami diantar ke sebuah Hotel berbintang di jantung Kota Bharu.

“Ini hanya peresmian Masjid kecil yang Mulia, tapi paduka Raja sangat menginginkan kehadiran Sultan dari Indonesia, untuk itu kami sampaikan undangan sejak jauh hari” ucap Datuk Ibrahim, pejabat Kerajaan Kelantan kepada Sultan Syarief saat mengantar kami ke hotel.

“Silahkan Yang Mulia beristirahat, karena besok pagi Abuya Abu Aswad ingin mengajak yang Mulia dan rombongan keliling lokasi bersejarah di Kelantan sebelum acara peresmian sore hari” tutup Datuk Ibrahim dengan ramah saat mengantar kami hingga pintu kamar hotel.

Kelantan Darul Naim merupakan salah satu negara dari 14 negara bagian di Malaysia, saat ini tampuk pemerintahan berada dibawah Tuanku Ismail Petra bin Yahya Petra dan Raja Perempuan Tengku Anis binti Tengku Abdul Hamid. Sejarah mencatat Kelantan adalah satu satunya negeri di Melayu yang dipimpin oleh Raja Perempuan bernama Tuan Puteri Cik Siti Wan Kembang, oleh karena itu Kelantan hingga kini masih dijuluki “Negeri Cik Siti Wan Kembang”, sejarah juga mencatat bahwa banyak ulama-ulama besar Melayu lahir di Kelantan maka sebagian orang menjulukinya “Serambi Mekkah” seperti halnya Aceh di Indonesia.

Kelantan termasuk negeri yang kaya akan sumber alam itulah sebabnya tingkat kesejahteraan penduduknya cukup baik. Salah satu parameternya hampir setiap penduduk dewasa disini memiliki mobil dan rata-rata keluaran terbaru.

Relawam FBn bersama Pemilik galeri sejarah Islam di Patani Thailand, namanya Rasmin, tahun 2017 lalu berziarah ke Banten Lama.

“Hampir semue orang disini punye kerete (mobil)” kata Azrul, sopir yang setia mengantarkan kami. Merk merk seperti Mercedes Benz, Proton, Honda mendominasi di Kota Bharu.

MENGUKIR JEJAK WALI DI MASJID TENGKU AZIZA KELANTAN

Perjalanan kami keesokan harinya dipandu oleh Abuya Abu Aswad dan 4 orang santrinya. Kami menggunakan 3 kendaraan yang nyaman dan terbilang mewah. Persinggahan pertama adalah Masjid Kampung Laut, yang terletak di daerah Nilam Puri Kelantan.Masjid yang berusia lebih dari 300 tahun dan menjadi tonggak kedatangan Islam di Nusantara pada abad ke 17 ini menjadi Masjid tertua di Kelantan. Karena nilai historisnya, bentuk keaslian masjid ini masih dipertahankan dengan konstruksi aslinya yang terbuat kayu. Masjid ini juga menjadi salah satu tempat berkumpulnya para Wali.

Dan uniknya tempat kumpul itu terletak di loteng suhunan masjid, konon di loteng itulah walisongo mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas strategi dakwah di Melayu.

Usai melaksanakan sholat sunnah tahiyatul masjid, kami berbincang dengan Ustadz Rafi, salah seorang pengurus masjid yang asli keturunan Palembang. Beliau sudah 2 tahun menjadi pengurus di Masjid Kampung Laut, banyak informasi kami peroleh seputar sejarah Masjid ini, kamipun bertukar nomor handphone untuk memperpanjang silaturahim.

Perjalanan dilanjutkan ke beberapa tempat bersejarah menelusuri jejak para Wali diantaranya petilasan Putri Cermin dan Taman Seri Indah Sekebun Bunga yang menjadi petilasan Cik Siti Wan Kembang dan juga Puteri Sadong yang masih kerabat para Ulama. Usai makan dan sholat ashar kami bergegas kembali ke hotel untuk persiapan acara utama peresmian Masjid Tengku Aziza.

Tepat pukul 17.00 Sultan Banten Syarief Muhammad Ash-Shafiuddin dan Sultan Palembang Iskandar Mahmud telah siap dengan pakaian kebesarannya, 30 menit perjalanan rombongan tiba di lokasi acara utama yaitu Peresmian Masjid Tengku Aziza Bt. Tengku Hamzah.

Masjid ini dibangun oleh keluarga kerajaan. Masjid ini cukup besar dan megah dan dibangun diatas lahan yang luas, apa yang disampaikan oleh Datuk Ibrahim di awal perjumpaan bahwa ini masjid yang kecil ternyata bahasa merendah saja.

Acara peresmian dihadiri pula utusan kerajaan Thailand, Brunai, Serawak dan pejabat kerajaan yang ada di Malaysia. Pada acara itu Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang menjadi tamu kehormatan.

Saat makan malam ruang yang disediakan khusus VVIP dengan para raja lainnya. Peserta undangan sangat antusias bergantian menyapa Sultan Syarief dan Sultan Iskandar, bahkan sesi foto bersama tak henti henti hingga acara usai malam. Dalam kesempatan malam itu Abuya Abu Aswad mengajak rombongan untuk napak tilas Walisongo dan ulama Melayu ke Pattani Thailand esok hari.
PATTANI TANAH ULAMA YANG TERLUPAKAN

Pukul 7.00 pagi dengan dipimpin oleh Abuya Abu Aswad rombongan Berangkat ke Pattani Thailand. Jalur yang digunakan adalah jalur darat yang dibatasi oleh sebuah sungai bernama Sungai Golok. Dari Pangkalan Qubor Kelantan menuju ke Tak Bai Thailand dengan jarak tempuh hanya 5 menit menggunakan perahu motor kecil.
Mobil Toyota HiAce telah menunggu kami di perbatasan. Persinggahan pertama adalah ke sebuah museum kecil bernama Khun Laharn, milik warga Pattani muslim bernama Rasmin Nititham. Sambil menunggu Shalat Jumat rombongan menikmati jamuan serta berdiskusi seputar sejarah walisongo, nasab Sultan serta persoalan-persoalan yang timbul. Dari diskusi tersebut terungkap banyak fakta serta wawasan yang sangat berharga.
Pattani adalah salah satu provinsi di selatan Thailand. Patani terletak di Semenanjung Melayu dengan pan­tai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatannya terdapat gunung-gunung dan taman negara Budo-Sungai Padi yang berada di perbatasan Provinsi Yala (Jala) dan Narawitha (Menara).

Perkembangan Islam di Pattani, adalah sejarah pan­jang. Dulu, Patani adalah sebuah kera­ja­an Melayu Islam berdaulat, mempunyai ke­sultanan tersendiri. Namun, pada per­tengahan abad ke-19, Pattani menjadi kor­ban penaklukan Kerajaan Siam (Thailand).
Penaklukan Siam terhadap Patani ta­hun 1962, mendapat pengakuan Britania Raya.

Untuk mengukuhkan kedudukan­nya di Patani, di tahun 1902, Kerajaan Siam melaksanakan undang-undang The­saphiban. Dengan ini, sistem peme­rintahan kesultanan Melayu telah di­hapus­kan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok tahun 1909, Patani diakui Britania sebagai bagian dari ja­jah­an Siam.

Patani adalah satu dari empat pro­vinsi Thailand yang mempunyai mayo­ritas penduduk beragama Islam (80%). Nama Pattani sendiri berasal dari bahasa Melayu logat setempat, yakni “Pata” (pan­tai) dan “Ni” (ini). Patani juga berasal dari bahasa Arab yang artinya “kebijaksana­an” atau “cerdas”, karena di sana tempat la­hirnya banyak ulama dan cendekiawan dari berbagai golongan dari tanah Melayu (Jawi).

Dahulu Pattani juga dikenal sebagai Se­rambi Makkah yang juga disebut Fattani Darussalam. Karena itulah Pattani memiliki keterkaitan sejarah sangat kuat dengan Kerajaan Islam di Nusantara, salah satunya Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang.

Kemudian rombongan melaksanakan Sholat Jumat di Masjid sekitar Tambon Lahan Pattani. Ba’da Sholat Jumat Perjalanan dilanjutkan ke masjid kayu Waddi Husein Makam Wan Husein (sepupu Sunan Ampel Bapa saudara Sunan Gunung Jati), sekaligus ziarah ke Makam Wan Husein yang berlokasi tak jauh dari lokasi mesjid.

Abuya Abu Aswad menjelaskan bahwa Indonesia memiliki hubungan panjang dengan Thailand terkait dengan sejarah Islam di Nusantara. Bahkan, ia mengatakan bahwa salah satu guru Wali Songo Sunan Gresik adalah orang Campa Thailand.

Beliau menduga bahwa nama Gresik yang ada di Indonesia dan yang ada di Thailand merupakan yang dicetuskan oleh Sunan Gresik dan Gurunya tersebut. Saat terjadi peperangan, ia mengatakan bahwa ada orang Indonesia yang juga ikut berjuang bersama kaum muslim di sana Yaitu Syaikh Abdussomad Al Falimbani. Syahidnya di Pattani. Dia adalah seorang ulama yang mengarang kitab Hidayatus Solihin.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa banyak orang Thailand yang pindah ke Indonesia setelah kaum muslim sana dikalahkan oleh Kerajaan Siam. Diantaranya Ke Demak, ke Banten, ke Kudus, ke Aceh, dan wilayah-wilayah lainnya.

Ulama-ulama Pattani yang cukup terkenal dengan karya-karyanya antara lain Syaikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, Syaikh Muhammad bin Ismail al-Fathani, Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani dan beberapa nama lain. Bahkan dari Pattani kemudian menyebar ulama ke Nusantara.

Kedatangan orang Pattani ke Banten terbawa keinginan untuk membantu Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) yang putera Sultan ‘Umdatuddin bin Sayid Ali Nurul Alam, Sultan Pattani. Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Sunda Kelapa itu pada 21 Jun 1527 M.

Sejak itu, banyak muslim Pattani yang hijrah ke Indonesia. Keturunan Syaikh Daud bin Abdullah al-Malikul Mubin yang bernama Wan Bagus membuka kampung yang diberi nama Kampung Melayu di Betawi pada tahun 1656 M. Generasi terakhir ulama Patani yang terkenal di Betawi ialah Kiai Ahmad al-Marzuqi al-Fathani al-Batawi yang wafat tahun 1934 dalam perang penalukkan oleh Thailand, maka dalam tahun 1602-1632 terjadi banyak pelarian Pattani ke Nusantara.

Datuk Maharajalela, yang nama sebenarnya ialah Faqih Ali bersama dua anak saudaranya, Paduka Raja dan Puteri Senapati hijrah ke  Gowa.
Sheikh Abdul Jalil al-Fathani meneruskan penyebaran Islam ke Sambas. Adapun Sheikh Ali tinggal di Kampung Tanjung, Mempawah yang kemudian diangkat menjadi mufti menggantikan Habib Husein Algadri tahun 1770.

Merekalah yang kemudian banyak mendirikan pesantren dengan mengacu pada pesantren di Pattani. Tradisi pesantren di Pattani sangat tua yang kemudian mewaris ke Nusantara.
Jarak yang ditempuh dari satu lokasi ke lokasi lain cukup jauh, hal ini dimanfaatkan oleh tim untuk melanjutkan diskusi sepanjang perjalanan.

Menjelang malam rombongan merapat ke perbatasan, dikarenakan pangkalan Qubor hanya melayani hingga pukul 5 sore, lokasi penyebrangan kali ini melalui jalur penyebrangan Jembatan Golok yang dibangun oleh pemerintah Malaysia dan Thailand pada tahun 1973.

Setiba di Hotel rombongan harus bergegas untuk menghadiri undangan makan malam (Majlis Santapan Malam) bersama Raja Ismail Petra, Raja Perempuan Anis, pangeran dan putri serta Raja Sultan dan pejabat kerajaan dari Pattani, Brunei Darussalam, Johor, Serawak dan Thailand. Dalam jamuan itu Sultan Banten dan Sultan Palembang mendapat tempat yang terhormat, bahkan Sultan Palembang didaulat untuk menghibur naik ke atas panggung, kehadiran Sultan Banten dan Sultan Palembang mencairkan suasana kaku protokoler kerajaan, acara berlangsung hingga lepas tengah malam.
BANTEN MENANTI

Ba’da sholat subuh keesokan harinya rombongan bertolak ke bandara dengan diantar oleh Datuk Ibrahim, Datuk Mustofa dan beberapa staf kerajaan. Selepas transit di Kuala Lumpur, rombongan langung bertolak ke Jakarta dan tiba pukul 14.30 wib di Bandara Soeta dengan selamat.

Sungguh suatu pengalaman perjalanan yang sangat berharga bagi kami, semoga menjadi bekal yang bermanfaat dalam mengangkat marwah Tanah Banten tercinta bersama Kanjeng Sultan Syarief Muhammad Ash-Shafiuddin (Rtb. Hendra Bambang Wisanggeni) demi terwujudnya Banten Berakhlaqul Karimah, Banten Berbudaya, Banten Sejahtera….. Aamiin YRA
Jazakallah..(ast/LLJ).

Penulis : Ki Andi S