Warga Sehat Banten Kuat, Kapan ?

Oleh : Lulu Jamaludin *

Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan,jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis. Oleh karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan.

Elyatul Iklas (11) warga Carita Pandeglang, 3 tahun sakit, hingga kini tak ada bantuan dari pemerintah.(LLJ)
Elyatul Iklas (11) warga Carita Pandeglang, 3 tahun sakit, hingga kini tak ada bantuan dari pemerintah.(LLJ)

Tanpa kesehatan, seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya. Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasional.

Diresmikannya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten pada 2013 lalu, jadi harapan besar bagi warga Banten khususnya di Kota dan Kabupaten Serang, lantaran lokasinya tak jauh dari kedua kota dan Kabupaten Serang. Sebab selama ini, rumah sakit yang ada di daerah Provinsi Banten tidak bisa penuh melayani warga. Apalagi masyarakat Banten masih banyak yang miskin.

Namun, keberadaan rumah sakit milik Pemprov Banten tersebut masih sangat jauh dari mimpi masyarakat Banten yang ingin sehat. Selain akses kendaraan umum sangat sulit, juga rumah sakit tersebut tidak memiliki kelengkapan alat.

Bahkan, belum lama ini puluhan dokter spesialis di tempat tersebut hengkang. Yang sebelumnya melakukan aksi mogok kerja menuntut perbaikan upah.

Ada secercah harapan dari masyarakat miskin di Banten mendengar pernyataan dari Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten Dr Sigit, yang membebaskan biaya bagi warga miskin yang henak berobat ke RSUD Banten dan RSUD Malingping. Cukup dengan memperlihatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Pemerintah Desa tempat tinggal warga miskin tersebut.

Akan tetapi pada faktanya, hanya sebagian kecil yang mengetahui perihal digratiskannya dua rumah sakit tersebut bagi warga miskin di Banten yang berjumlah 702.400 jiwa. Dan meski sebagian warga sudah mengetahui, sebagian enggan ke rumah sakit tersebut dengan berbagai macam alasan. Namun alasan yang paling banyak ditemui di lapangan adalah mengenai ketidaklengkapan alat.

Berdasarkan temuan langsung di lapangan (kebetulan penulis relawan pendamping pasien miskin) sebagian masyarakat miskin semakin enggan ke rumah sakit. Dengan alasan klasik dan penanganan oleh pemerintah pun klasik, yakni tak memiliki uang untuk berobat Daan pemerintah tak mau memberi obat (yang tak dicover BPJS).

Warga miskin di Banten semakin enggan menggunakan BPJS. Selain diharuskan membayar tiap bulan (non PBI) juga tetap saja kebutuhan obat tidak dicover oleh BPJS. Bahkan warga miskin merindukan Jamkesmas! Karena Jamkesms memenuhi semua kebutuhan masyarakat miskin.

Seperti yang dirasakan oleh Jumadi (manusia akar) asal Desa Kubang Puji, Kecamatan Pontang,kabupaten Serang, hampir setahun ini bolak-balik ke RSCM Jakarta untuk mengobati penyakitnya yang sudah menahun. Tidak ada bantuan sesenpun dari pemerintah. Baik pemerintah Kabupaten Serang mau pun Banten.

Jumadi setiap 10 hari membutuhkan obat seharga Rp750 ribu, transport Serang-Jakarta, dan makan-minum selama di Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut,Jumadi mengandalkan dari relawan dan pihak-pihak yang mempunyai iba kepada dirinya.

Jumadi mengaku, saat masih menggunakan Jamkesmas, seluruh pembiayaan obat digratiskan. Namun sejak BPJS diterapkan, obat-obatan yang terbilang mahal harus membayar.

Selain Jumadi, pasien miskin lainnya di Banten pun merasakan hal serupa. Seperti Eliyatul Ikhlas (11 tahun) warga Carita, Kabupaten Pandeglang,sudah tiga tahun didampingi relawan bolak-balik Pandeglang-Jakarta, biaya makan,obat, dan rumah singgah, mengandalkan relawan dan belas kasihan dermawan.

Atau seperti Furqon (11) warga Terumbu, Kecamatan Kasemen,kota Serang yang mengidap penyakit kanker. Hingga kini masih mengandalkan bantuan dermawan. Dan masih banyak lagi pasien-pasien miskin yang mengandalkan belas kasihan dermawan lantaran tidak diperhatikan pemerintah.

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Banten perlu dipertanyakan keseriusannya dalam hal penanganan pasien miskin. Sebab sudah lama relawan mengajukan dana ke Pemprov Banten untuk membantu pasien miskin. Namun belum ada realisasinya. Padahal dana tersebut untuk membeli obat, makan-minum selama pengobatan dan rumah singgah.

Perda Retribusi Pelayanan Kesehatan Belum Waktunya

Belum juga pelayanan kesehatan terhadap warganya meningkat, Pemerintah Provinsi Banten mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang retribusi pelayanan kesehatan.

Penyampaian Raperda Retribusi Pelayanan Kesehatan tersebut disampaikan Gubernur Banten Rano Karno dalam rapat paripurna DPRD Banten dengan tiga agenda yakni penyampaian nota pengantar Raperda APBD Perubahan 2015, Raperda Retribus Pelayanan Kesehatan dan Raperda perubahan SOTK RSUD Malingping, di ruang rapat paripurna DPRD Banten di Serang.

Gubernur Banten Rano Karno menilai tambahan Perda terkait retribusi dipandang perlu, meskipun Pemprov Banten telah mempunyai dua Perda tentang retribusi, yaitu Perda Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah dan Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang retribusi pelayanan kesehatan pada RSUD Banten.

Rano Karno mengatakan, pada prinsipnya dua Raperda yang ada cukup berjalan baik, namun dengan terbentuknya balai laboratorium kesehatan daerah berdasarkan Pergub Nomor 52 Tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Pergub Nomor 12 Tahun 2012 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis daerah Provinsi Banten, terdapat potensi baru yang perlu diatur dengan Perda Retribusi.

Perda retribusi yang dimaksud diantaranya terkait pelayanan pemeriksaan laboraturium klinik, pelayanan pemeriksaan laboratorium kesehatan masyarakat, dan pelayanan pemeriksaan laboratorium kimia kesehatan dan lingkungan.

Raperda tersebut menurut hemat penulis belum saatnya. Karena pelayanan Pemprov Banten terhadap wargany belum ada peningkatan. Dimana masih banyak kasus akibat keterlambatan pengobatan, warga miskin di Banten meninggal.

Seperti Nawasi (3 tahun) balita pemakan batu bata dan penderita gizi buruk dari Kampung Cipare Idul, Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Awal September lalu meninggal dunia. Atau ibu Siti Hafsah (40) penderita warga Tunjungteja,Kabupaten Serang yang meninggal di pertengahan September lalu karena tak mampu berobat ke Jakarta lantaran tak punya biaya.
Problematika tentang kondisi kesehatan di Banten saat ini memang sangat kompleks. Permasalahan di sektor kesehatan begitu menyisakan sebuah pertanyaan bagaimana sikap para pengambil kebijakan dalam hal mensejahterakan masyarakat di sektor kesehatan yang merupakan sektor vital dalam sebuah pembangunan Provinsi Banten.
Dan Kesehatan merupakan sektor penunjang dalam mensinergikan pembangunan. Namun bukan hanya dilihat dari segi kesehatan penyakitnya, tapi juga dari segi fasilitas pendukung kesehatan yang bisa dikatakan layak.
Sektor ini sangat mendasar karena kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan hidup yang mesti mendapat perhatian lebih dari pemerintah, terutama masalah kenyamanan dan sektor penunjang lainnya seperti infrastruktur. Namun kenyataannya sektor kesehatan masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian yang sangat serius dari berbagai pihak demi menciptakan masyarakat yang sehat agar Banten kuat . Dan mustahil terwujud masyarakat Banten yang sehat, jika sehat menjadi barang yang mahal di tanah kesultanan ini.

 

Di HUT yang ke 15 ini, seyogyanya Pemprov Banten lebih meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Dan menjadikan kasus-kasus korupsi di bidang kesehatan sebagai pelajaran. Agar Banten lebih baik, dengan mempermudah akses kesehatan bagi masyarakat. (LLJ)

Penulis: relawan pendamping pasien miskin.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *