Sambil Nunjuk Dada, Terdakwa Korupsi Pamarayan Rp 23,2 Miliar : “Sakitnya Tuh di Sini Jadi Terdakwa,”

0
1342

Serang,FESBUK BANTEN News (20/2/20015) – Sambil menunjuk ke arah dada, di depan majelis hakim pengadilan tipikor PN Serang, terdakwa kasus korupsi proyek Peningkatan Irigasi Induk Barat di Pamarayan merupakan proyek yang dibiayai APBN Sebesar Rp23,2 miliar, Nilla Suprapto mengatakan, “sakitnya tuh di sini jadi terdakwa,”.

Terdakwa Nilla Suprapto (peci hitam)
Terdakwa Nilla Suprapto (peci hitam)

 

Dalam sidang yang dipimpin hakim Jesden Purba dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kartono dan menghadirkan saksi ahli dari BPKP, Nilla mengungkapkan perasaannya menjadi terdakwa karena hasil audit BPKP. “Kerugian negara dari audit BPKP Rp3,1 miliar. Sementara dalam proyek tersebut saya sudah rugi Rp12 miliar. Bagaimana tidak sakit perasaan saya. Padahal sudah tidak ada kerugian lagi, semua uang sudah dikembalikan ke negara,” kata Nilla.

NIlla juga dalan persidangan meminta kepada saksi ahli untuk memberikan keterangan yang jelas dan benar. Pasalnya ia sebagai terdakwa sudah banyak disusahkan karena perkara ini. “Tolong Pak Saksi, saya ini sudah lelah dan akibat kasus ini perusahaan saya juga di blacklist selama 2 tahun, akibatnya juga omset pekerjaan saya yang sebesar Rp2,5 triliun mangkrak, belum lagi rugi akibat kasus ini saya mencapai Rp12 miliar yang diantaranya mengalir ke rekening TCW,” kata Nilla.

Sementara, Jesden Purba, Ketua Majelis Hakim dalam sidang yang juga menghadirkan terdakwa Kushendar PW dan M Sujasman MN mempertanyakan kredibilitas saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diwakili oleh Syahrul H Siregar . Pasalnya dalam penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus yang ditangani oleh penyidik Kejati Banten tersebut BPKP tidak melakukan audit investigasi. Selain itu, Hakim juga menilai BPKP lalai, karena tidak melakukan pemeriksaan terhadap uang dalam proyek tersebut yang mengalir ke Tubagus Chaery Wardhana (TCW) selaku Direktur PT Bali Pacifik Pragama.

“Dalam audit kerugian keuangan Negara yang kami lakukan dalam proyek ini, kami hanya mengambil data-data dan uga mengambil berkas BAP (berita acara pemeriksaan, red) dari penyidik Kejati Banten. Hasilnya ada kekurangan volume sebanyak 4000 kubik dalam proyek itu,” kata Syahrul H Siregar.

Syahrul memaparkan dari kekurangan volume tersebut setelah dikurangi dengan PPN maka nilai kerugian keuangan negara mencapai Rp3,158 miliar.

“Dari data yang diberikan oleh tim ahli dari Untirta, kami menerima data adanya kekurangan volume sebanyak 4.000 kubik, setelah dihitung selama dua minggu hasilnya merugikan keuangan Negara Rp3,1 miliar lebih,” kata Syahrul.

Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Hakim, Jesden Purba, menilai sebagai lembaga audit yang kompeten semestinya BPKP melakukan audit fisik dan melakukan sidak ke lokasi serta mengkonfirmasi temuan tersebut ke Balai Besar selaku instansi yang terkait bukan hanya berdasarkan pengamatan saja. “Seharusnya BPKP sebagai lembaga audit yang kompeten. Melakukan audit Fisik, audit mendadak ke lokasi. Kenapa saudara tidak ke balai. Hanya berdasarkan adanya dokumentasi saja, kalau begini kan Cuma berdasarkan pengamatan saudara. Kenapa tidak ke Balai, kenapa tidak kelapangan,” kata Jesden.

Menjawab pertanyaan Majelis Hakim, Syahrul mengatakan jika dalam kasus Pamarayan, pihaknya hanya diminta untuk melakukan audit penghitungan kerugian keuangan negara pasalnya audit investigasi dalam kasus Pamarayan dilakukan oleh tim ahli dari Fakultas Tekhnik Untirta. “Karena dalam kasus ini kami hanya diminta oleh penyidik untuk melakukan audit keuangan. Sehingga kita tidak melakukan audit investigasi,” terang Syahrul.

Dalam persidangan kali ini juga, Rachmatullah Roeslan yang biasa dipanggil Edo Roeslan penasehat hukum dari terdakwa Nilla mengkonfirmasi pernyataan saksi ahli sebelumnya Prof Rahman yang diminta untuk membuat kerugian Negara menjadi Rp7,1 miliar oleh BPKP. Syahrul membantah keterangan dari saksi ahli Fakultas Tekhnik Untirta tersebut, menurut Syahrul, dirinya tidak pernah meminta kerugian keuangan negara dibuat menjadi Rp7,1 miliar. Ia hanya mengatakan kepada tim ahli Untirta untuk tidak memasukan nilai kerugian dalam audit fisik yang dilakukan oleh tim ahli Untirta.

“Saya tidak pernah meminta Untirta untuk menjadikan kerugian keuangan negara menjadi Rp7,1 miliar, jadi itu tidak benar. Saya malah meminta kalau nilai rupiah dalam kerugiannya tidak dicantumkan pada hasil audit fisik, karena soal kerugian Negara biar kita yang hitung” kata Syahrul.

Mendapatkan jawaban dari saksi ahli BPKP ini, Edo menilai jika Prof Rahman telah berbohong dalam kesaksian pada persidangan sebelumnya. “Yang Mulia, ini berarti ada yang berbohong, karena sidang sebelumnya saksi ahli dari Untirta mengatakan kalau diminta untuk menjadikan kerugian keuangan negaranya menjadi Rp7,1 miliar,” kata Edo.
Untukdiketahui, sebelumnya dalam sidang dengan agenda dakwaan terungkap, uang sebesar 45 persen dari Rp23,2 miliar yang merupakan anggaran proyek pekerjaan peningkatan saluran induk Pamarayan Barat daerah irigasi Ciujung tersebut mengalir kerekening PT Bali Pacifik Pragama yang diketahui milik Tubagus Chaeri Wardhana.

Ketiga terdakwa olej JPU, dijerat dengan pasal 3 UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20tahun 2001 tentang perubahan UU RInomor 31 tahun 1999 jo Pasal 18 UU RI nomor 31 tahun 1999.

JPU menyatakan, ketiga terdakwa melakukan atau turut serta melakukan secara melawan hukum memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam proyek yang dimenangkan oleh PTGKN tersebut awalnya telah dianggarkansebesar Rp31,6 miliar, namun belakangan mengalami addendum atau perubahan sehingga nilai proyek menjadi Rp25,5 miliar.

“Bahwa selanjutnya dalam pengerjaan proyek ternyata dikerjakan oleh Bugis yang diklaim Nila adalah sebagai Site Manajer proyek. Tak hanya itu dalam hasil berita acara pemeriksaan(BAP) terungkap pula ternyata laporan harian, mingguan dan bulanan  tidak pernah dibuat secara benar. Bahkan laporan yang ada ternyata adalah palsu. PTGKN juga ternyata tidak pernah menurunkan tim ahlidalam proyek tersebut,” kata JPU.

Selanjutnya dalam pembayaran proyek tersebut, PTGKN hanya menerima sebanyak 55 persen darinilai proyek setelah dikurangi pajak. Sedangkan 45 persen sisanya masuk kerekening PT Bali Pacifik Pragama. Dengan rincian, uang muka dibayarkan ke PTGKN melalui rekening Bank Mandiri Cabang Serang sebesar Rp5.590.727.097.  Pembayaran termin pertama sebesar Rp6.289.567.984. Pembayaran termin ke dua sebesar Rp4.193.045.322.pembayaran termin ke tiga sebesar Rp6.431.648.118 melalui Bank Jabar cabang Buah Batu Bandung.

“Bahwa pembayaran kepada Bugis yaitu 55 persen. Dengan rincian uang muka Rp5,5 miliar setelah dipotong PPn 10% dan PPh 3%, PTGKN hanya menerima Rp3 miliar, sedangkan sisanya ditransfer ke rekening PT BaliPacific Pragama. Termin kesatu yang sebesar Rp6,2 miliar setelah dipotong PPn10% dan PPh 3%, PT GKN hanya menerima Rp3,4 miliar sedangkan sisanya ditransfer ke rekening PT Bali Pacific Pragama.Termin kedua sebesar Rp4,1 miliar setelah dipotong PPn 10% dan PPh 3%, PT GKN hanya menerima Rp2,3 miliar sedangkan sisanya ditransfer ke rekening PT Bali Pacific Pragama. Bahwa total uang muka dan termin I dan termin II yang ditransfer dan diterima secara kontan kepada Bugis dari rekening pada Bank Mandiri cabang pasar lama Serang adalah Rp8,8miliar. Termin ketiga yang dikirimkan ke rekening BJB cabang Buah Batu Bandung milik PT GKN sebesar Rp6.431.648.116 selanjutnya oleh Nila Suprapto ditransfer kepada Bugis sebesar Rp4,6 miliar. dan ke rekening PT Wijaya Andaru Utama sebesar Rp641.000.000,” papar JPU.

Bahwa dalam kemudian, Lanjut JPU,  PTGKN tidak mampu menyelesaikan pekerjaan hingga batas waktu yang ditentukan. PTGKN hanya mampu menyelesaikan pekerjaan sebesar 97,9 persen. Kemudian Balai memutus kontraknya dan meminta pengembalian dari PT GKN. Namun PT GKN hanya mampu mengembalikan 2,1 persen yang dikembalikan ke kas negara. Sedangkan jaminan pelaksana sebesar 5 persen atau Rp1,2 miliar tidak dapat diklaim oleh penerima jaminan untuk disetorkan keKas negara. “Kusnendar selaku PPK baru dapat mengajukan klaim pada akhir Februari2014. Terhadap surat tersebut atas analisa pihak Bank, klaim pencairan jaminan pelaksanaan tidak dapat dilaksanakan karena pemutusan kontrak dilakukan tanggal 30 Desember 2013. Sehingga jaminan pelaksana tidak dapat diklaim dan disetorkan ke kas negara,” papar JPU..(LLJ)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here