FesbukBantenNews

LPA : Tahun 2022 Ada 27 Kasus Kekerasan Pada Anak di Banten , Tahun 2021 ada 16 Kasus.

Serang, fesbukbantennews com (24/7/2022) – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten mencatat ada 27 kasus kekerasan terhadap anak, yang terjadi selama Januari hingga Juli 2022 di Banten.

Hendry Gunawan ,Ketua LPA Provinsi Banten.

Sementara, data kasus yang tercatat dan terpantau di LPA Provinsi Banten sejak awal Januari hingga Juni 2021, terdapat 16 kasus. Rinciannya kasus kekerasan seksual sebanyak 75 persen, kekerasan fisik 6 persen dan hak asuh sebanyak 19 persen.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten Hendry Gunawan mengatakan, bahwa sejak awal Januari hingga Juli 2022, pihaknya mencatat ada puluhan kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak di Banten.

“Data yang tercatat dan terpantau di LPA Provinsi Banten, Sejak Januari hingga Juli 2022 terdapat 27 kasus, yang masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual,” kata Hendry , Minggu (24/7/2022).

Kata Hendry, sebanyak 27 kasus itu tersebar di delapan kabupaten kota di Provinsi Banten. Kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Banten, paling banyak terjadi di Kabupaten Serang ada 9 kasus.

Kemudian Kota Serang 5 kasus, Kabupaten Lebak 3 kasus dan Kabupaten Tangerang 3 kasus. Selanjutnya, Kabupaten Pandeglang 2 kasus, Kota Tangerang 2 kasus, Kota Cilegon 2 kasus dan Kota Tangerang Selatan 1 kasus.

Dari rincian itu, Hendry menerangkan bahwa kasus kekerasan yang dialami oleh anak-anak, didominasi dengan kekerasan seksual.

“Kasus kekerasan seksual sebanyak 37 persen, kekerasan fisik 26 persen, hak asuh 22 persen, penelantaran dan eksploitasi anak 15 persen,” ungkapnya.

Menurut Hendry, yang menjadi ironis dari kasus kekerasan terhadap anak itu, yakni terjadi di lingkungan terdekat anak.

“Mulai dari lingkungan rumah, sekolah dan sosial anak.Sedangkan pelakunya adalah orang terdekat, mulai dari ayah dan ibu kandung, saudara, hingga teman bermain,” terangnya.

Adapun tempat terjadinya kekerasan yang dialami sejumlah anak di Banten, didominasi di tempat-tempat lingkungan sosial masyarakat si anak. Baik itu di perumahan atau di perkampungan.

Kemudian dari berbagai kasus yang ada, menurutnya, peran teknologi dan media sosial menjadi pemicu terbesar munculnya kekerasan.

Bahkan akibat dari itu, kata Hendry, bisa mengarah kepada kejahatan seksual terhadap anak.

Diakuinya, ada salah satu kasus kekerasan seksual, diakibatkan karena seorang anak menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggunakan HP di malam hari, tanpa ada pengawasan orang tua.

Kemudian terjadi perkenalan antara korban dengan pelaku di media sosial. Sehingga berlanjut saling bertemu, hingga terjadi kekerasan seksual.

“Bahkan ada beberapa pelaku yang mengaku melakukan kekerasan seksual setelah terpapar pornografi melalui gawainya,” ungkapnya.

Oleh karenanya, dirinya mengimbau kepada para orang tua, agar memahami literasi digital serta selalu memantau perkembangan anak.