FesbukBantenNews

Moralitas Wartawan Antara Idealita dan Realita

Serang,fesbukbantennews.com (17/12/2021) – MEMAKNAI idealita pada hakikatnya mudah.  Idealita itu memiliki makna  ‘apa yang seharusnya didapatkan/diperoleh’. Wartawan dituntut mengembangkan profesi jurnalistiknya untuk mencerdaskan bangsa. Moralitas merupakan keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seseorang atau masyarakat. Moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah. Moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggungjawabnya dan bukan ia mencari keuntungan.

ilustrasi. (Google).

Aceh salah satu provinsi di Indonesia yang mendapat keistimewaan untuk menerapkan Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Dalam hal pelaksanaannya, hal tersebut menyangkut berbagai sektor, termasuk dalam hal penyampaian informasi kepada masyarakat melalui pemberitaan media.  Dalam hal penyampaian sejumlah informasi kepada masyarakat, misalnya  Harian Serambi Indonesia sebagai media yang beredar di kalangan penduduk yang mayoritas muslim tentunya sangat diharapkan dapat membantu proses syi’ar Islam  dalam berita sebagai bentuk pengawasan terhadap moralitas  kewartawanannya.

Disamping itu, tugas wartawan dan media tidak sebatas berperan sebagai penyampai informasi kepada masayarakat semata, tetapi lebih dari itu, wartawan  dituntut  sesuai dengan moral (etika) jurnalistiknya dapat melahirkan berita-berita yang mampu membuat masyarakat memahami dan mengambil pelajaran yang berguna dari berita yang dipublikasikan.

Moralitas Wartawan
Moral adalah  sikap dan perilaku ideal berdasarkan pertimbangan akal yang dimiliki manusia.  Hanya moral yang baik dan keberhati-hatian yang dapat menolong seorang wartawan dalam urusan ini. Seorang wartawan tidak akan menguraikan secara detail keadaan seorang korban pemerkosaan, yang   mengalami trauma yang sangat memilukan, seandainya ia sadar bahwa deskripsi  tentang keadaan korban akan menyebabkan pembaca dihantui rasa kecewa, marah, sehingga terganggu secara psikologis, atau tertusuk nurani kemanusiaannya. (Maskun Iskandar, 2004). 

Moralitas dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Dalam batasan pengertian tersebut, maka moral bisa untuk dimensi duniawi dan bisa untuk ukhrawi. Rasa tanggung jawab para wartawan muslim kepada Allah dan kepada masyarakat merupakan suatu kewajiban. Firman Allah dalam surat An-Nahlu ayat 125, Artinya, “Ajaklah kepada jalan Tuhannya dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan penerangan yang baik dan berdiskusilah dengan cara yang lebih baik,” (QS. An-Nahl: 125)

Peran wartawan yang dianggap sebagai penyampai informasi lewat tulisan, harus mengedepankan moral kewartawanannya secara benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh kode etik jurnalistik itu sendiri. Disamping itu, wartawan yang juga sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) berkewajiban melakukan perubahan perilaku sosial masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Nilai-nilai profesional bagi wartawan sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan. Media cetak memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik. Karenanya, media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat.

Yarmen Dinamika adalah  Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia, menyebutkan, “jatuhnya jarum ke tumpukan jerami atau kutu menggigit kepala bocah yang jarang keramas. Kedua contoh itu peristiwa. Sama halnya dengan seorang petani yang jengkel gara-gara tanah yang dicangkulnya berbatu cadas, sehingga paculnya patah, itu juga peristiwa. Tetapi apakah semua itu cukup bernilai dan membuat pembaca tertarik?.

Untuk itu, seorang wartawan harus memiliki naluri yang kuat untuk memilih dan memastikan mana peristiwa yang layak diberitakan, mana pula yang tidak. Untuk memastikan layak tidaknya, maka news value (nilai berita) lah, tegas Yarmen yang menjadi indikatornya.

Idealita, Realita dan Bahasa
Di zaman kemajuan informasi dan teknologi sekarang ini,  idealita dan realita tidak bisa ‘diceraikan’, karena kedua kata itu memiliki kesamaan dan kepentingan dengan wartawan. Menyampaikan informasi yang sesuai dengan idealita dan realita haruslah berimbang (balanced), atau melaporkan kedua sisi mata uang (cover both sides). Jika ada dua pihak yang berbeda pendapat atau berbeda dalam memberikan keterangan, kedua-duanya haruslah diberi tempat pada berita yang sama.

Kalau ada pertikaian antara warga yang tanahnya kena gusur dengan pemerintah kota yang menggusur mereka, pendapat atau keterangan kedua pihak hendaknya diceritakan secara bersama-sama. Idealisnya, wartawan harus berpegang pada prinsip moral, kode etik wartawan ‘katakan yang benar walaupun pahit’.
Namun, tidak selamanya sebuah laporan dapat memenuhi asas berimbang, seperti yang menjadi tuntutan jurnalisme yang ideal. Jika gagal mendapatkan konfirmasi, wartawan harus menyebutkan bahwa apa yang dinyatakan dalam berita itu belum dikonfirmasikan kepada pihak yang seharusnya memberikan konfirmasi. Pada follow up untuk berita tersebut keterangan hasil konfirmasi itu sudah harus disajikan, walaupun cara seperti itu bukanlah cara yang ideal.

Relevansi fakta yang disajikan, yang membantu pembaca memahami laporan tersebut, menjadi hal penting untuk dipertimbangkan. Kejelian si pelapor dalam menggali fakta dan menyeleksinya pada saat disajikan kepada audience sangat menentukan. Wartawan harus mempertimbangkan nilai akurasi dalam menyjikan fakta. Karena akurasi sangat menentukan dan penting dalam pemberitaan. Untuk mendapatkan akurasi, yang harus diutamakan adalah  check and recheck. Informasi yang disampaikan wartawan harus secara fair, jujur dan tidak berprasangka (su`uzan). 

Wartawan yang baik tidak akan menceritakan tabrakan beruntun di jalan raya dengan menewaskan puluhan jiwa manusia sebagai “musibah mengerikan”. Dia tidak akan menggunakan istilah “kenderaan yang naas itu” di dalam ceritanya. Baik si pelapor atau wartawan tidak boleh membuat penilaian “mengerikan” atau “naas” karena semuanya itu harus diserahkan pada fakta yang sebenarnya didapatkan. Biarkan fakta yang merangsang pembaca untuk merasa ngeri atau berkesimpulan bahwa itu adalah kenyataan berupa nasib yang naas.

Disertai background information manakala ia diperlukan. Agar pembaca dapat memahami duduk perkara sebuah isu, latar belakang peristiwa atau masalah yang dilaporkan perlu diungkapkan dengan ringkas. Adakalanya, tanpa adanya paragraf beckground information, pembaca mendapat kesulitan memahami cerita dengan baik.

Angle berita haruslah tajam. Angle atau sudut bidik adalah alat bagi si pelapor untuk membantu pembaca melihat suatu kejadian atau masalah dari suatu segi yang lebih jelas.  Moral (etika) meliputi berbagai aspek. Ia dapat menyangkut nama baik, dan harga diri seseorang, yang dapat berubah menjadi kasus hukum.  Dalam menulis laporan adakalanya tanpa disadari muncul bahasa yang dapat merugikan orang lain – atau dianggap merugikan oleh orang lain – yang dapat menjadi perkara di pengadilan. Wartawan dan editor atau redaktur haruslah cermat menperhitungkan kemungkinan seperti itu.

Pemakaian istilah “menghadap presiden” lahir dari kebiasaan berbahasa yang bernafaskan feodalisme. Bahasa seperti itu adalah bahasa keraton. Istilah “menghadap” menjadikan presiden bagaikan raja dengan kekuasaan absolut. Padahal, dengan memakai istilah “menemui presiden” si pelapor tersebut sama sekali tidak berbuat tidak sopan. Kebiasaan berbahasa seperti itu tidak mendidik, tidak bermoral dan tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, itu telah menghidupkan semangat feodalisme dan tidak sehat karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Oleh karenanya, media harus cerdas dalam berbahasa ketika menulis berita. 

Profesor Bakhtiar Ali, guru besar ilmu komunikasi UI, mengatakan, media yang cerdas tidak pernah secara serta merta memuat berita atau pernyataan dalam bahasa yang vulgar. Pers, kata Bakhtiar Ali, bukan hanya sebatas profesi, tetapi ia adalah panggilan hati nurani. (Tabloid Modus Aceh, Edisi 1, Minggu kedua, Oktober 2006, h. 2).  

Judul berita hendaknya melaporkan peristiwa atau masalah (telling the story). Saat membaca judul, audience mengetahui informasi yang paling pokok untuk pertama kalinya. Uraian yang lebih jelas mengenai informasi paling pokok itu dapat dia peroleh di dalam lead, dan pada saat itu pembaca mendapatkan inti cerita untuk kedua kalinya. Penjelasan yang lebih lengkap ditemukan – yang ketiga kalinya – dalam tubuh berita. Karena itu, judul laporan tidak boleh berupa label head (judul merek).  Label head hanya sekedar memberi tahu cerita apa yang ada di bawah judul tersebut. Ia tidak menceritakan kejadian atau masalah. Contoh “Situasi Terakhir di Tangse” adalah label head. “Gempa Susulan Mengguncang Tangse” adalah judul yang sifatnya telling the story.(LLJ).

Oleh: Drs. Muzakkir, MA
Dosen Jurnalistik Universitas Teuku Umar
Sumber : Utu.ac.id