Selama 2016, Kekerasan Seksual Dominasi Kasus Anak di Banten

0
181

Serang,fesbukbantennews.com (30/12/2016) – Tindak kekerasan seksual mendominasi terhadap kasus kekerasan terhadap anak-anak di Banten. Dalam kurun waktu sembilan bulan (April-desember 2016) sebanka 16 kasus kekerasan seksual menimpa anak-anak di Banten.

Ketua LPA Banten Muhamad Uut Lutfi (kiri) dan Ketua Komnas PA Arits Merdeka Sirait, dalam konferensi pers LPA Banten 2016.
Ketua LPA Banten Muhamad Uut Lutfi (kiri) dan Ketua Komnas PA Arits Merdeka Sirait, dalam konferensi pers LPA Banten 2016.

Demikian dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten Muhamad Uut Lutfi dalam konferensi pers catatan krisis akhir tahun LPA Banten di gedung IM, Kemang, Kota Serang, Kamis (29/12/2016).

Uut mengungkapkan, data di LPA Provinsi Banten pasca pergantian kepengurusan LPA Banten terhitung dari bulan April sampai Desember sepanjang tahun 2016 sebanyak 25 kasus, bahwa kekerasan seksual masih mendominasi yaitu sebanyak 16 kasus, adapun perkara yang lainnya masuk dalam kekerasan fisik, psikis, penelantaran anak dan hak asuh anak.
“Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terjadi justru di lingkungan terdekat anak, yakni di rumah, di lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang terdekat mulai dari sang anak, ayah/ibu kandung, paman, guru, maupun ayah/ibu tiri,” kata Uut.
Adapun, lanjut Uut, tempat kejadian kekerasan terhadap anak yang mendominasi adalah di lingkungan sosial/masyarakat (perkampungan).
“Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak, Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten beserta Lembaga Perlindungan Anak di tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi Banten perlu mendorong keterlibatan keluarga, masyarakat, pemerintah melalui program prioritas, berkesinambungan, massif dan terintegrasi, ” tegas Uut.
Dalam catatan sepanjang tahun 2016, jelas Uut, tantangan dalam penuntasan kekerasan terhadap anak di Indonesia khususnya di Provinsi Banten masih belum juga berakhir. Mata rantai kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, kekerasan fisik dan kekerasan psikis merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Fenomena ini tentu berbanding terbalik dengan dunia anak yang sebenarnya.

“anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dirawat yang kelak dikemudian hari menjadi pewaris dalam keluarga dan penerus bangsa ke depan. Anak adalah aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda,” katanya.
Oleh karena itu, tukas Uut, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak anak, serta memegang teguh prinsip-prinsip non-diskriminatif, kepentingan terbaik anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghormati pandangan/pendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.

“Namun sebaliknya jika kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan, traumatik, kekerasan, diskriminasi dan apalagi kekejaman demi kekejaman terhadap anak terus saja berlangsung tanpa dapat pembelaan dan perlindungan, ini tidak bisa dibiarkan dan negara harus serius dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak sebagai generasi bangsa yang akan datang. Tentu kita semua tidak menginginkan di negara Indonesia tercinta ini terjadi lost generation, ” jelasnya. (gun/LLJ).