Revitalisasi Seperti Inilah yang Akan Mengembalikan Kejayaan Banten Zaman Kesultanan

0
248

Serang,fesbukbantennews.com (20/9/2017) – Hari ini (Rabu, 20 September 2017) saya menghadiri undangan Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Banten sebagai Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Banten untuk mendiskusikan penataan Banten Lama (BL). Meskipun mendadak dan banyak agenda yang sudah direncanakan sebelumnya, tapi saya niatkan untuk memenuhi undangan, karena BL bagi saya adalah tanah peradaban tempat saya diberi kehidupan. Hadir dalam diskusi tersebut Prof. Tihami sebagai Ketua DRD, DR. Firman sebagai anggota DRD, Tb. Najib sebagai Arkeolog, DR. Mufti Ali dari Bantenologi, Gandung dari Untirta, Banten Heritage, UKM, MUI dan Bappeda Kota Serang.

Dapat DRD Provinsi Banten dan IAI mengenai Banten Lama.(ist)

Alhamdulillah diskusi ini menambah dan memperkaya pengetahuan saya untuk BL. Pemaparan penataan BL dari Bappeda Kota Serang masih seperti dulu. Tidak terencana dengan baik, belum tuntas dan tidak matang. Padahal menurut mereka sudah melalui kajian dari Tim Universitas Indonesia. Tapi kenyataannya, pelaksanaan fisik hasil kajiannya itu melanggar Undang-Undang Cagar Budaya (baca tulisan saya di http://mukoddassyuhada.blogspot.co.id/2017/08/spirit-of-banten-edisi-salah-kaprah.html?m=). Tb. Najib, Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memaparkan konsep rekonstruksi BL yang sudah dimulai pada tahun 1989 sebagai Penataan BL pertama. Lalu muncul lagi Penataan BL kedua tahun 2002. Berikutnya tahun 2005 dan 2017. Penataan BL tahun 1989, dasarnya adalah hasil penelitian selama 12 tahun yang telah menghasilkan naskah akademik. Penataan tahun 2002, hasil yang urgen adalah revitalisasi kanal arah selatan Masjid Agung Banten. Penataan tahun 2005, ingin melanjutkan penataan tahun 1989 yang belum tuntas, namun belum terlaksana. Penataan tahun 2017, nampaknya telah menjadi Masterpiece, program unggulan Banten. Hanya beberapa bulan setelah pelantikan Gubernur baru, langkah program pertama adalah mengkonsentrasikan pada BL, “Bebersih” nampaknya niat bebersih ini sudah direncanakan sebelum terpilih jadi Gubernur. Persoalannya, bagaimana warisan BL ini menjadi milik bersama, yang didasari oleh rasa sense of belonging dan sense of responsibility. BL atau Old Banten, merupakan sebutan popular oleh kolonial, lebih tepat Banten Hilir atau Downstream untuk membedakan Banten Hulu atau Banten Girang atau upstream, sesungguhnya yang BL adalah Banten Girang.

Gandung, dari Untirta, telah melakukan survei sosial terhadap para pengunjung BL dengan metode pengisian form survei. Salah satu hasilnya adalah, para pengunjung BL itu terbanyak adalah usia di atas 20an tahun. Berarti BL bukan dijadikan tempat untuk ‘pacaran’, tetapi merupakan tempat wisata religius dengan salah satu magnetnya adalah Makam Sultan Banten. Selain itu, para pengunjung BL ini merupakan pengunjung yang setia, mereka akan terus kembali lagi meskipun sarana dan prasarananya hancur. Mereka merasa aman, hanya tidak nyaman saja akibat pengemis-pengemis. Tetapi semuanya sepakat, jika BL ini butuh dan harus segera di revitalisasi. Sedangkan perwakilan dari UKM menekankan perlunya menata pedagang kaki lima di zona yang sudah ditentukan. Pedagang nya pun sebagian besar dari luar Banten, hanya ada oknum tertentu yang mengelolanya.

Sebagai narasumber penutup, Prof. Tihami menyampaikan bahwa BL itu jangan hanya direvitalisasi fisiknya saja, tetapi mesti menyeluruh, termasuk revitalisasi non fisik seperti Budaya dan Karakter. Ada semacam buku panduan tata cara berwisata di BL, jadi ada etika dan tatakramanya. Beliaupun meminta Tim dari Untirta untuk melakukan survei tentang pedagang yang ada di BL, apakah ada korelasinya antara Peziarah, Pengemis dan Pedagang (3P). Siapa tau pengemis yang ada di BL itu merupakan instrument para peziarah untuk mendapatkan berkah.

Diskusi berlanjut dengan beberapa tanggapan dari para undangan, dimulai dari saya. Berbicara masalah BL, harus dikaitkan dengan Peradaban-Peradaban sebelumnya, karena ini merupakan rangkaian peristiwa yang tidak bisa dipisah-pisahkan, sehingga penanganan BL itu tuntas, baik dan benar. Peradaban Nusantara ini dimulai dari Peradaban Situs Gunung Padang, lalu berkembang ke Peradaban Situs Cibedug, Kerajaan Salakanegara, Kerajaan Padjadjaran dengan salah satu wilayahnya di Banten Girang dan terakhir adalah Peradaban Islam Kesultanan Banten di pesisir Teluk Banten.

Oleh karena itu, penataan BL itu sejatinya adalah merevitalisasi Peradaban Islam zaman Kesultanan Banten baik itu fisik maupun non fisiknya, bukan membangun sarana dan prasarana (sarpras) baru seperti yang sudah dipaparkan oleh Bappeda Kota Serang. Jika dibangun sarpras baru, maka dikhawatirkan akan banyak yang hilang dan rusak. Contoh tadi dipaparkan akan dibangun akses jalan baru di sekitar kampung Kasunyatan. Nah akses jalan ini membutuhkan lahan yang mengubah fungsi eksisting seperti pemukiman dan persawahan yang kemungkinan besar terdapat Situs dan Budaya bertani. Baiknya adalah dengan merevitalisasi jalan-jalan lama, normalisasi kanal dan Kali Banten serta mengoptimalkan jalur kereta api yang sudah ada. Di sinilah pentingnya zona inti itu diperluas, jangan hanya di wilayah yang tadi dipaparkan. Idealnya, zona inti itu sekecamatan Kasemen dan beberapa wilayah yang ada di Kabupaten Serang seperti Tirtayasa dan Tasikardi. Mungkin sekelurahan Banten bisa juga dijadikan zona inti. Untuk zona pendukungnya dibuat di wilayah Kota Serang. Di situlah boleh dibangun sarpras baru seperti fasilitas transit, terminal dan tempat parkir. Selanjutnya, untuk akses ke BL nya bisa dengan transportasi seperti masa Kesultanan Banten dan Kolonial, bisa naik perahu melalui Kali Banten dan kanal, naik delman dan kereta api. Kampung-kampung lamanya di tata dan dihidupkan kembali kebudayaan membuat grabah di Panjunan Sukadiri (sekarang menjadi terminal yang terbengkalai) yang menurut Tb. Najib merupakan grabah untuk Kesultanan Banten, sedangkan untuk rakyatnya ada di kampung yang dekat dengan bendungan karet saat ini. Selain itu, aktivitas masyarakatnya yang bertani juga tetap dijaga, karena terkait dengan nama Serang yang berarti sawah dengan sistem irigasi dan pengolahan air yang mencapai masa keemasan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ada juga yang berprofesi sebagai nelayan dan pedagang dengan pelabuhan dan pasar Karangantunya. Pedagang kaki lima bisa berjualan di zona inti tapi dikemas dengan model suasana zaman Kesultanan Banten. Jadi, peradaban-peradaban inilah yang harus di revitalisasi karena mempunyai nilai Budaya yang sangat tinggi dan unik yang tidak dimiliki di tempat lain.

Untuk itu, dibutuhkan suatu lembaga khusus menangani BL, bentuknya bisa seperti Badan Otorita Banten Lama (BOBL). Lembaga inilah yang bisa dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para stakeholder yang punya mimpi bersama membangkitkan kembali kejayaan Banten zaman Kesultanan. Di situ ada Kesultanan Banten yang akan berperan sebagai Entitas Budaya. Ada Kenadziran yang akan berperan untuk mengurus Masjid dan Makam. Ada pemerintah dan akademisi serta tokoh masyarakat yang berperan sebagai regulator, penyandang dana dan fasilitator.

Sebagai penutup diskusi, perwakilan dari Banten Heritage dan DR. Mufti Ali, menegaskan kembali perlunya zonasi dalam revitalisasi BL. Harus jelas mana batasannya, karena hasil kajiannya bersama dengan ahli sejarah dari Perancis, menyimpulkan bahwa tembok yang ada di Benteng Speelwijk itu merupakan tembok Kota Kesultanan Banten. Selain itu, kajian dari Bappeda Kota Serang harusnya jangan mengulang kajian-kajian yang sudah ada dengan sumber dari Belanda. Coba dilengkapi dengan kajian-kajian baru yang bersumber dari India, Iran dan Persia. Karena, Banten itu tercatat juga dalam manuscript di negara India, Iran dan Persia.

Demikianlah hasil rangkuman diskusi mengenai Penataan Banten Lama, semoga kita semua dimudahkan dan dilancarkan sehingga mimpi kita semua, dengan Semangat Kebantenan #SpiritOfBanten untuk membangkitkan kembali Kejayaan Banten zaman Kesultanan bisa segera terwujud.(LLJ)

Penulis: Mukodas Syuhada ; Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Banten .

Putra Daerah Kota Serang.