Pungli, Menampar (Upaya) Reformasi Birokrasi di Pandeglang (Oleh : Ari Supriadi*)

0
205

Serang,fesbukbantennews.com (1/8/2017) – SATU pekan sudah operasi tangkap tangan (OTT) oleh Tim Saber Pungli Polda Banten di di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Pandeglang, Selasa 25 Juli lalu, atas dugaan praktik pungutan liar (pungli) pelayanan administrasi kependudukan berlalu. Kejadian tersebut cukup mengejutkan publik dan seolah menampar wajah pemerintah daerah yang tengah membangun citra di mata publik.

Ari Supriadi.(ist)

Jauh sebelum kejadian pekan lalu, Pemkab Pandeglang juga pernah “dipermalukan” oleh oknum petugas Dinas Perhubungan (Dishub) yang melakukan pungli di pertigaan Cipacung. Terungkapnya praktik kotor itu hasil liputan jurnalis televisi dan videonya tersiar di beberapa media televisi lokal maupun nasional.

Pungli, uang rokok, pelicin atau istilah lain adalah barang lama yang lumrah di dunia birokasi, terutama badan/dinas/kantor yang mengurusi langsung fungsi pelayanan publik. Untuk kasus ini, penulis sudah lama mendengar praktik tersebut dengan berbagai macam modus operandi. Modus itu utamanya adalah siapa bayar dia cepat.

Kejadian tersebut sungguh bertolakbelakang dengan hasrat Bupati Pandeglang, Irna Narulita yang menginginkan pelayanan publik itu bersih, transparan, akuntabel, cepat dan mudah.

“Saya malu, kecewa terhadap ulah oknum yang menciderai nama baik pemerintah daerah dan ini menjadi pembelajaran bagi mental ASN yang rusak,” ungkap Irna Narulita saat menggelar konfrensi pers di Ruang Garuda Pendopo Pandeglang, kemarin siang. (Koran Tangsel Pos halaman 11, edisi Kamis 27 Juli 2017).

Pernyataan tersebut jelas menggambarkan kekecewaan Irna Narulita atas ulah oknum pegawainya di tengah upaya reformasi birokrasi di tubuh Pemkab Pandeglang.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa hingga terjadi praktik tersebut? Apakah memang gaji pegawai masih kurang besar, sistem pengawasan yang kurang maksimal, sistem kerja yang dibuat lemah atau yang terakhir mental aparatur pemerintahan yang (maaf) memang buruk.

Di sini penulis bukan mencari kambing hitam atas kejadian yang melibatkan enam ASN, tiga TKK dan TKS tersebut. Namun tentu bersama mencoba mencari solusi terbaik agar ibu (Bupati Pandeglang, Irna Narulita) tak lagi seperti merasa ditampar ketigakalinya.

Harusnya hal tersebut tidak terjadi atau mungkin bisa diminimalisir jika semua lini berjalan dengan baik, mulai dari membangun sistem yang terintegrasi dengan teknologi informasi, pembinaan dan pengawasan aparatur secara terbuka dan membangun budaya organisasi yang baik.

Berbicara lebih luas, kejadian tersebut harusnya dijadikan pembelajaran bersama bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Pandeglang, terutamanya Bupati (Irna Narulita) selaku pejabat pembina kepegawaian daerah.

Pasangan bupati dan wakil bupati, Irna Narulita-Tanto Warsono Arban saat dilantik 23 Maret 2016 lalu, salah satunya mendengungkan reformasi birokrasi. Reformasi birokasi di Indonesia kali pertama muncul pada 1998.

Pada 1998 silam, gerakan reformasi yang digagas mahasiswa adalah bentuk kejenuhan publik atas kekuasaan rezim orde baru di bawah komando Soeharto dan salah satu masalahnya adalah perilaku koruptif (oknum) pejabat atau aparaturnya.

Gerakan reformasi saat itu telah meletakan landasan politik bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Akhirnya melalui gerakan itu, dimulailah pembenahan besar-besaran di tiap lini pemerintahan.

Wilayah yang menjadi target pembenahan itu mulai dari organisasi, tata laksana, sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik dan budaya kerja aparatur (culture set dan mind set).

Namun pertanyaannya, apakah reformasi birokrasi sudah berhasil dan cukup sampai di sini? Jawabannya tentu tidak. Menurut penulis, reformasi birokrasi sederhananya seperti rutinitas ibadah yang harus terus dilakukan, meski kita sudah fasih namun ibadah harus dilakukan secara kontinyu.

Dewasa ini konsep reformasi birokrasi dilegitimasi melalui Undang-Undang (UU) Nomor: 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kemudian regulasi tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.

Perpres tersebut dibagi tiga fase, fase pertama berakhir pada 2014 lalu, fase kedua reformasi birokrasi yakni pada 2015-2019 dan fase ketiga pada 2020-2024.

Kembali pada permasalahan yang terjadi di Kabupaten Pandeglang. Sepertinya Irna-Tanto lengah melakukan pengawasan hingga lini terkecil. Sedikit penulis mengoreksi soal gaya “blusukan” atau sidak Bupati Irna Narulita yang dinilai (maaf) kurang natural.

Seperti agenda sidak ke sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pasca Idul Fitri. Salah satu OPD yang “disidak” adalah Disdukcapil yang saat ini terbongkar “topeng” bobroknya birokrasi di kantor yang gedungnya didirikan pada masa kepempimpinanya bupati terdahulu, Raden Ahmad Dimyati Natakusumah (suami Irna Narulita).

Hampir dalam tiap sidak, tidak pernah ditemukan kendala atau kejanggalan dalam urusan pelayanan publik, baik di Disdukcapil, Badan Pelayanan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPPMPTSP), RSU Berkah ataupun OPD lainnya.

Itu karena sidak tersebut (maaf sekali lagi), saya katakan sidak-sidakan. Karena sebelum sidak, agenda tersebut sudah sampai ke Kepala OPD yang kantornya akan dikunjungi. Apalagi sidak selalu dilakukan ramai-ramai bersama sejumlah pejabat lainnya.

Menurut penulis, pola pendekatan seperti ini tentunya tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Walaupun Bupati Irna Narulita berupaya mendesain gaya kepemimpinan melalui pendekatan kualitatif, namun cara yang dilakukan masih keliru. Akhirnya, aspirasi yang awalnya diharapkan dapat menangkap persoalan secara mendasar, namun realitanya tetap persoalan yang diperoleh adalah sebatas di permukaan.

Pemilik akun @Irnadim99 ini sepertinya lupa akan curhatan rakyatnya mengenai berbagai permasalahan dan salah satunya soal pelayanan publik. Jika sidak konvensional dengan turun langsung dinilai tidak begitu efektif, maka pemimpin bisa lebih memaksimalkan teknologi informasi untuk menyerap aspirasi lebih mendasar (face to face) melalui media sosial atau meminjam istilah e-blususkan yang dilakukan Presiden Joko Widodo.

Selanjutnya, reformasi birokrasi juga perlu dilakukannya pembaharuan budaya organisasi. Menurut Ndraha (2005:24) pembentukan budaya organisasi terjadi melalui dua pola, yakni pola pelakonan (prescriptive) dan pola peragaan (learning process). Pola pelakonan adalah pembentukan atau terbentuknya budaya organisasi melalui pola penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan.

Sisi lain yang juga tidak kalah penting dalam upaya reformasi birokrasi adalah manajemen SDM (dalam hal ini ASN). Kalimat klasik barat mengatakan, the right man in the right place atau hadits yang kurang lebih berbunyi jika suatu pekerjaan dikerjakan oleh bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

Pada dasarnya kalimat bijak dan hadits tersebut sudah mengajarkan manusia (pemimpin) untuk mampu menempatkan sumber daya sesuai kapasitasnya. Karena reformasi birokasi bukan sekadar menempatkan orang pada suatu jabatan. Penempatan itu tentunya harus berdasarkan penilaian mendalam dan kemurnian berfikir seorang pimpinanan tanpa adanya “bisikan” ora jelas dari kanan kiri.

Sebelum benar-benar menempatkan aparaturnya, pemimpin melalui fungsi-fungsinya sudah melakukan pembinaan, peningkatan skill dan memberikan pengalaman yang cukup bagi ASN untuk nantinya diberi amanah jabatan. Sekali lagi, tentunya semua itu sudah ada regulasinya. Pemimpin hanya tinggal meningkatkan intuisi dan memainkan seni (art) memimpin.

Di akhir, adalah meningkatkan fungsi pengawasan. Pengawasan bisa dilakukan oleh pemimpin secara langsung atau mendelegasikannya ke bawah, seperti Inspektorat. Jika dirasa pengawasan internal kurang greget mengawasi kinerja aparatur, maka pemimpin bisa menggunakan jasa pengawasan “cuma-cuma” dari insan pers dan aktivis (Ormas ataupun mahasiswa).

Sebab, pengawasan yang dilakukan oleh pihak luar dinilai lebih objektif, dibanding pengawasan internal yang (terbukti) selama ini laporannya selalu manis.

Manajemen SDM (ASN), budaya organisasi dan pengawasan, menurut penulis menjadi tiga poin penting untuk suksesi reformasi birokrasi di Kabupaten Pandeglang. Dengan demikian diharapkan tercipta pelayanan publik yang prima sesuai kebutuhan dan harapan publik, tercipta budaya kerja yang baik dan akhirnya tercipta birokrasi dengan integritas, kinerja tinggi dan akuntabel. Semua itu sekiranya perlu diimplementasikan untuk terwujudnya tatalaksana pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.(LLJ)

*) Penulis adalah mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cilandak, Jakarta Selatan, progam pascasarjana Magister Administrasi Pemerintahan Daerah yang berdomisili di Kabupaten Pandeglang