Peran Humas Saat Citra Birokrat Semakin Terpuruk

0
687

Oleh: E Nurfaridhoh*

Ilustrasi.(net)
Ilustrasi.(net)

Apriori..demikianlah mungkin pandangan sebagian besar masyarakat kita akan keberadaan lembaga eksekutif, terutama di daerah. Tingkat kepercayaan masyarakat kita terhadap pemerintah telah sampai pada titik nadir, dan hampir tak dapat lagi diubah. Sistem perekrutan CPNS yang selalu dihingar bingari dengan berbagai issu miring, proses tender proyek-proyek yang sering tak jelas, kualitas SDM pegawai negeri yang dianggap di bawah standar, sampai dengan yang saat ini tengah jadi trend yaitu korupsi bersama yang dilakukan para birokrat kita dengan sparring partner nya dari legislatif.
Benar-benar ironis. Otonomi daerah yang diharapkan mensejahterakan rakyat di republik ini ternyata melahirkan desentralisasi korupsi yang cenderung memeras rakyat. Korupsi tersebar luas tidak hanya di lingkungan eksekutif-yudikatif, tetapi menjalar di legislatif karena otonomi memberikan peluang baru bagi lembaga ini menunjukkan kekuasaannya.
Contohnya bisa disimak pada kasus DPRD Sumatera Barat. Awalnya, dengan alasan otonomi dan atas nama kekuasaan, DPRD Sumbar itu menyusun anggaran. Bahkan, pihak eksekutif tidak ada hak untuk mempertanyakan, kecuali menyetujui. Ada kesan, eksekutif dalam hal ini gubernur terpaksa harus menyetujui, menerima, sebab kalau tidak, akan ada risiko; laporan pertanggungjawaban gubernur (terancam) ditolak. Gubernur mana yang rela “turun di jalan” karena dinilai gagal dan lalu diberhentikan DPRD sebelum habis masa jabatan?
Penyimpangan kehidupan birokrasi tentu saja menghasilkan opini publik yang tidak favourable. Akibatnya, dukungan masyarakat menjadi hilang karena terjadi krisis ketidakpercayaan terhadap sikap dan perilaku pemerintahan, lebih jauh lagi, selalu ada kecenderungan rasa curiga terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal ini tentu saja merugikan, dan siapa yang harusnya merasa paling bersalah ketika opini publik sudah tidak favourable sehingga berdampak pada semakin kukuhnya image buruk birokrat di tengah masyarakat? . Padahal fungsi humas pemerintahan adalah untuk memperoleh pengertian dan penerimaan publik terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah… Tak akan pernah ada pengertian dari publik dan lupakan saja penerimaan publik!. Bagaimanapun keberhasilan humas pemerintahan tidak diukur dari sampainya pesan kepada masyarakat tapi sejauhmana terjadinya perubahan sikap masyarakat sesuai yang diharapkan.

Kerja humas adalah telling, selling dan building the image, dan hal ini tidak dapat dilakukan secepat dan semudah membalik telapak tangan. Butuh perencanaan, strategi, dan tentu saja komitmen dari semua pihak yang merasa memerlukan ‘citra’ dalam melakukan kerjanya. Percayalah, siapapun yang memandang enteng soal menjaga citra di mata publik sama seperti tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Sering humas ‘dikerahkan’ ketika kita tengah atau bahkan telah menghadapi masalah, padahal humas tentu saja bukan seperti petugas pemadam kebakaran yang baru dipanggil ketika musibah datang.it’s not gona work!

Bagaimanapun humas harus merupakan sebuah upaya yang terencana dan dilakukan terus menerus untuk mempertahankan itikad baik dan saling pengertian antara sebuah organisasi dan publiknya, dan hal ini hanya dapat terjadi jika keberadaan humas dalam pemerintahan didukung sepenuhnya oleh semua unsur pimpinan dalam sturuktur birokrasi. Mungkinkah? Bagaimana dengan ego sentris yang kerap muncul?… Tak dapat dipungkiri, dalam birokrasi, humas memang tidak diberi keleluasaan untuk melaksanakan fungsinya. Humas pada pemerintahan lebih cocok disebut sebagai society relations, hanya dapat menyampaikan sesuatu yang telah dibatasi karena bagaimanapun ada social responsibility yang melekat padanya. Namun masih relevankah hal itu saat ini ketika eksekutif nyaris tak lagi memilik kharisma?.

kata banyak buku teks Public Relations, posisi dan peran humas adalah bagian dari fungsi manajemen. Apa yang dilakukan humas baik komunikasi internal maupun eksternal, haruslah sejalan dengan visi, misi dan policy manajemennya.
Ketiadaan visi yang jelas dalam strukur pemerintahan, membuat posisi humas “bungkam” nyaris tidak berarti. Selain itu paradigma yang mereka anut masih top down. Humas baru bergerak bila ada kegiatan pemerintahan. Kalaupun mendengar feed back hanya reaktif sebatas analisis di media. Jadinya, posisi, eksistensi dan peran humas pemerintahan betul-betul tidak bergigi dan tidak bergengsi.

Menurut Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si. Staf Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Komputer Indonesia, Ada banyak faktor mengapa peran humas pemerintahan tidak optimal. Setidak-tidaknya ada dua faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi peran mereka. ‘Pertama’, beban pemerintahan pusat maupun daerah yang diliputi limbah KKN, mentalitas “pangreh praja” yang tidak sensitif akan aspirasi publik dan lamban dalam pelayanan. Hal itu adalah sebagian faktor yang membuat humas gamang. Disatu pihak ia harus menyampaikan image positif institusi kepada publik, di pihak lain citra buruk birokrasi begitu mendalam terpatri di hati publik. Kondisi demikian membuat pimpinan lantas mengeliminasi peran humas sebagai “corong” kepada publik. Pimpinan khawatir, humas salah informasi atau mengakui aib pimpinan atau lembaganya. Inti policy-nya jangan “bukakan”, aib apapun meski itu fakta.

Berangkat dari hal itu tak salah jika akibatnya, orang-orang humas tidak berani bicara bila banyak wartawan ingin bertanya dan melakukan konfirmasi. Makin sering humas no comment itulah, mengapa banyak wartawan tidak mengakses informasi kepada humas tapi langsung melangkah ke pimpinan puncak. Disitu banyak orang humas “tersinggung”. Tapi apa boleh buat struktur hirarkislah yang menempatkan humas sebagai protokol belaka, membuatnya tidak leluasa. Sekalipun ada orang humas yang dianggap valuable, jumlahnya tak lebih dari hitungan jari sehingga kesannya jadi one man show.

Harusnya, humas pemerintah, siapapun orangnya, sanggup berbicara kepada publik. Apakah birokrasi sudah berubah ke arah yang lebih efisien, mudah pelayanannya dan tanggap? Itu penting, karena sesungguhnya banyak perubahan yang baik dari birokrasi sejak otonomi daerah dicanangkan tapi, hal-hal yang baik itu tidak terkomunikasikan kepada publik lantaran keterbatasan SDM humasnya. Cobalah untuk memperbaiki sistem rekruitmen petugas humas, seleksilah mereka berdasarkan pendidikannya, keterampilannya dan tentu saja profesionalismenya sehingga upaya kita menjadikan humas pemerintah sebagai expert presciber, problem solving process facilitator dan communication facilitator, bisa lebih mudah
Saat ini kita berada di era globalisasi informasi, apa pun yang kita lakukan dan apa pun yang terjadi, dalam hitungan detik dapat diketahui dan disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan profesionalisme saat ini adalah mutlak dilakukan karena dalam era globalisasi para praktisi humas akan berhadapan dengan kompetitor mancanegara yang lebih profesional.
Jadi di tengah semakin terpuruknya citra birokrasi, peningkatan profesi ini mutlak diperlukan. Posisi humas sangat strategis dalam mendukung upaya pemerintah memulihkan citra oleh karena itu kita perlu praktisi humas yang ahli, berani, dan bertanggung jawab serta memiliki sense of crisis dengan tentunya selalu memperhatikan ketentuan etika profesi..

Kita tak ingin citra pemerintahan lambat laun menjadi’belief’ yang dalam bahasa “persuasif”, belief diartikan sebagai estimasi pribadi terhadap suatu kebenaran atau ketidakbenaran. Kata Robert Denton, Jr., “a belief is what we personally know to be true, even if others disagree”. Sebagian besar manusia memang mengalami kesulitan melakukan tawar-menawar dengan belief. Bagi sebagian besar masyarakat, sesuatu yang sudah menjadi belief sulit sekali diubah, kecuali orang yang dihadapinya sangat rasional dan bisa menerima argumen yang kuat. Tapi, mencari argumen yang kuat bukanlah persoalan yang mudah. Selain itu, dalam masa ini terdapat kemungkinan yang sangat besar adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak peduli terhadap argumentasi. Mereka lebih melihat “siapa” yang berbicara ketimbang “apa” yang disuarakan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan, ketika saat ini masyarakat telah memasukan citra buruk birokrasi dalam tataran belief?.Sadar terhadap sulitnya menggapai “belief”, Rhenald Kasali, Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia – Ilmu Manajemen mengatakan biasanya, kita masih dapat berusaha bermain di tataran attitude, yaitu suatu tahapan sedikit di bawah belief yang relatif masih bisa dibentuk dan dipengaruhi.
Attitudes memiliki tiga dimensi. Pertama, dimensi afeksi yang mencerminkan perasaan kita terhadap objek tertentu. Kedua, dimensi kognitif yang tercermin dari apa yang kita pikirkan terhadap objek tersebut. Ketiga, dimensi behavioral yang tercermin dari apa yang akan kita lakukan.

Bermain dalam tataran image, tentu saja berarti bermain dalam dimensi psikologi massa dengan memperhatikan belief dan attitudes khalayak sasarannya. Tapi, ketika menjalankan tugasnya, satu hal yang harus diingat para petugas humas, image tidak bisa diubah bila persoalannya bukan image. Maka, pertanyaan pertama yang harus diajukan: it’s image or it’s performance? Bila jawabannya yang terakhir, kampanye mengubah sikap (attitude change) haruslah diimbangi dengan change management. Bisakah?… Sebuah tantangan bagi para pimpinan kita…
*E Nurfaridho : Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi, Tinggal di Cilegon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here