Payungi Rakyat dari Hujan Amplop (oleh :KIREN*)

0
218

Serang,fesbukbantennews.com (18/12/2016) – “Cokot duitna, colok nomerna” sebuah kalimat yang khatam terdengar di telinga masyarakat Banten khususnya masyarakat pedesaan yang minim pendidikan dan ekonomi yang terbelakang. Namun agak sedikit berbeda mengenai pemikiran masyarakat perkotaan yang agak rasionalis namun licik mungkin akan berkata seperti ini “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Yap! ini tentang politik perut atau yang kita kenal dengan serangan fajar, bahasa kerennya Money Politic (politik uang). Sebuah tindakan yang dibenci namun dicari.

 

Ilustrasi.(google)
Ilustrasi.(google)

Menurut Syed Hussein Alatas sebagaimana yang dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya (Buku Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Korupsi, Hal.5) politik uang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi tipe transaktif (transctive corruption) karena jenis korupsi ini menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuantungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan oleh kedua-duanya.

Politik uang merupakan pemberian uang atau janji yang dimaksudkan untuk menyuap seseorang agar orang tersebut memberikan suaranya kepada sang calon dan mendapatkan suara dari orang yang disuap. Semua orang sepakat bahwa politik uang adalah suatu bentuk pelanggaran kampanye namun tetap saja dilakoni oleh oknum-oknum seperti simpatisan, kader, bahkan pengurus partai politik yang dilakukan sebelum hari –H jelang pelaksanaan pemilu. Biasanya saat dini hari jelang pelaksanaan pemilu, masyarakat berbondong-bondong rela menanti hujan amplop yang akan dibagikan oleh tim kepada mereka.

Inilah mengapa politik uang diistilahkan dengan ‘serangan fajar’. Tidak hanya uang saja sebagai objeknya, iming-iming kebutuhan pokok seperti beras, minyak, gula dan sebagainya juga dijadikan objek untuk mendapatkan simpati rakyat agar memberikan suara untuk calon yang bersangkutan.

Dilansir dari diskusilepas.com, dalam pemilu ada tiga tipe pemilih antara lain pemilih tradisional, pemilih pragmatis, dan pemilih cerdas. Biasanya pemilih yang mudah terjebak lingkar setan ini adalah pemilih pragmatis yang memilih semata-mata hanya untuk kepentingan sesaat dan cenderung apatis sehingga menimbulkan persepsi bahwa siapapun calon yang terpilih, pada akhirnya tidak akan memberikan progress yang positif terhadap kesejahteraan rakyat alias tetap ‘miskin’ karena setelah menjabat kepentingan rakyat dilupakan.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa Banten rawan akan hujan amplop? Jawabannya sudah pasti karena kurangnya kualitas dan kuantitas interaksi dengan rakyat yang akan dipimpinnya nanti. Budaya yang diterapkan selalu menciptakan ‘kebaikan musiman’ pada rakyat jelang pemilu artinya hanya menciptakan keakraban temporal lima tahun sekali sehingga terkesan “ada maunya”.

Inilah yang menjadi lahan subur politik uang. Rakyat ingin diberi amunisi terlebih dahulu untuk memilih. Siapa yang memberikan uang, maka dialah yang terpilih, begitulah pemikiran pemilih pragmatis untuk calon yang tentu pragmatis pula. Menolak politik uang sebenarnya bukan pesan baru. Berbagai upaya terus dilakukan untuk dapat mengikis habis perilaku laknat ini.

Beragam media sosialisasi, Undang-undang, bahkan larangan serta peringatan dalam Al-Quran dan As-sunah pun tak dihiraukan. Padahal sangat jelas dalam Hadis dari Tsaubah ra bahwasanya Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap (Hadist Riwayat Ahmad). Politik uang adalah suap dan praktik ini tidak hanya melanggar norma negara tetapi sudah melanggar norma agama.

Lantas, apakah slogan Iman dan Taqwa masih cocok ditulis dalam logo Banten? Hai para Jawara Politik, Baca dengan baik dan renungkanlah kalimat tadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya politik uang tak lepas dari tingkah laku politikus yang menyukai gaya hidup hedonis diantaranya suka pamer kemewahan, korupsi, dan manipulasi.

Dewasa ini sering kita lihat para pejabat di Indonesia umumnya dan di Banten khususnya malah bermewah-mewahan dan tidak memperdulikan rakyatnya. Pemimpin seperti inilah yang akan menghancurkan dan memperburuk keadaan Banten yang sudah buruk.

Harus kita ingat bahwa politik uang justru menurunkan martabat rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Kita sebagai rakyat direndahkan dimana suara dan martabat kita sebagai tuan rumah hanya dinilai dengan uang dua puluh ribu rupiah dan bahan makanan. Apakah sebanding dengan apa yang kita dapatkan nanti selama 5 tahun ke depan? Pikirkanlah.

Mengelola politik uang sama saja memelihara penderitaan rakyat. Rakyat sebagai tuan rumah selama ini dibodohi dan dijebak untuk melayani kepentingan sang konglomerat selama 5 tahun untuk mengembalikan modal mereka. Dengan masih merajalelannya politik uang, sampai kapanpun kualitas demokrasi di Tanah Jawara ini akan terus pincang.
Sudah banyak undang-undang bahkan berulang kali di revisi untuk menjerat pelaku yang sampai kini belum efektif dan belum memberikan efek jera. Seolah-olah undang-undang hanya dijadikan sebuah legalitas belaka tanpa realisasi. Sehingga banyak kasus praktik politik uang yang berhasil lolos tidak diperkarakan.

Diakui oleh Samsul, Staf Divisi Hukum dan Penanganan Pelanggaran, Bawaslu Provinsi Banten, mengatakan bahwa sulit dalam mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran praktik politik uang dan apabila bukti yang didapat masih kurang atau belum lengkap maka dinyatakan tidak terbukti. Hal tersebut dikarenakan praktiknya yang terselubung serta waktu penanganannya singkat yaitu hanya 7 hari untuk disampaikan ke Gakkumdu.

Penanganan yang singkat itulah menjadi kendala untuk menemukan lebih banyak bukti. Dan yang menjadi kekhawatiran adalah bagaimana jika ada oknum melakukan praktik ini namun berhasil menyembunyikan barang buktinya sedangkan penanganan bawaslu hanya diberi waktu 7 hari? Melihat kelemahan tersebut, tentu pelaku akan menganggap lembaga tersebut lemah dan akan terus mencari kesempatan untuk mengulanginya lagi. Hal ini perlu menjadi koreksi.
Tentunya peran masyarakat pun diperlukan dalam hal ini. Kita tidak boleh bungkam dan takut untuk melapor jika ditemukan praktik politik uang disekitar kita. Jangan sampai diam-diam kita ikut menggemari praktik laknat ini. Kita sebagai penentu masa depan Banten baik pemerintah, lembaga-lembaga, stakeholder, dan seluruh lapisan masyarakat harus saling bersinergi untuk berani melawan dan menonaktifkan transaksi politik ini dengan tegas.

Dalam pesta demokrasi ini, walaupun kita (sebagian rakyat) bukan kategori yang paling paham tentang politik, setidaknya kita di tuntut cerdas dalam memilih para calon pemimpin kita. Cerdas dalam arti memilih berdasarkan hati nurani dan anti menerima suap serta sadar bahwa suara rakyat sangat menentukan nasib suatu negara atau daerahnya. Sudah triliunan rupiah yang sudah negara keluarkan untuk pesta demokrasi lima tahunan ini. Jika politik jual beli masih merajalela, mubazirlah dana yang dikeluarkan dan pelaksanaannya sudah tidak ada lagi arti demokrasi.

Kita sudah diberi lampu kuning yang berarti harus berhati-hati dalam memberikan hak suara. Jangan sampai memilih pemimpin yang bermuka dua. Apalagi memilih pemimpin yang sibuk menumpuk harta seperti politik dinasti yang kita rasakan beberapa tahun kebelakang.

Dari contoh yang sudah banyak terjadi, apakah ada pemimpin yang sungguh-sungguh dalam memegang jabatannya, jikalau ada mungkin hanya beberapa saja yang benar-benar menjalankan amanatnya sebagai pemimpin yang baik.

Di Provinsi Banten sendiri yang baru berdiri 16 tahun silam, bisa dibilang provinsi masih kategori remaja dengan ciri khasnya yang labil membuat Banten sudah lebih dulu mengalami masa kelam diusia remajanya yaitu regenerasi kekuasaan untuk menciptakan politik dinasti sebagai ajang menumpuk harta sehingga Banten seperti menganut paham Demokrasi Oligarkis bukan Demokrasi Pancasila. Ya, dari kisah tersebut sudah menjadi peringatan keras untuk kita agar lebih selektif dalam memilih pemimpin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai warga Banten untuk lebih menumbuhkan rasa kepedulian terhadap suasana politik di Banten karena politik uang ini sudah menjadi kejahatan serius dalam demokrasi yang harus diperangi oleh semua pihak. Uang atau materi memang hal yang penting, namun jangan sampai hal tersebut menjadi boomerang untuk nasib kita selama 5 tahun kedepan. Demokrasi Banten sudah nyaris beralih kepada Demokrasi Oligarkis.
Lalu, bagaimana solusi untuk bisa melawan politik uang? Siapa yang harus memulai lebih dulu? Apakah pemimpinnya? Tidak. Pemerintah? Tidak. Lembaga? Tidak. Atau masyarakatnya? Juga tidak. Kita semualah penghuni negara ini yang harus bersatu dan bersinergi untuk melawannya. Mengutip perkataan seorang dosen hukum Universitas Sultan Agung Titayasa (Untirta) Banten Ridwan SH. MH, yang mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan bensin untuk menggerakan orang-orang agar taat pada hukum.

Jadi kunci solusinya adalah kita harus sadar hukum terlebih dahulu. Jika kita sudah sadar hukum, maka kita akan menjadi penggerak semua orang agar menajdi manusia yang taat pada hukum di negaranya. Kita warga Banten harus lebih bijaksana dalam menyikapi politik uang, alangkah baiknya kita tidak menerima hal itu, karena itu hanyalah jebakan dalam bermain politik.

Menghindari sesuatu yang buruk lebih baik dibandingkan mendekati bahkan menikmatinya. Untuk itu, marilah kita rubah pola pikir dan pola sikap kita dengan prinsip hidup penuh kejujuran dan dengan itu demokrasi yang bersih akan tercipta. Kita harus berfikir realistis, jangan mudah percaya akan perkataan manisnya, dan yang paling penting adalah kita harus mampu melihat kemampuan dan kompetensi dari si calon kandidat tersebut karena sangatlah penting bagi kelangsungan Banten agar bisa lebih baik dari periode sebelumnya.

Untuk para calon kandidat, diharapkan untuk lebih menunjukkan kemampuan dan kompetensi kepemimpinan karena secara tidak langsung rakyat akan lebih percaya dan lebih menghormati serta dapat memberikan feedback positif agar rakyat dapat memilih berdasarkan hati nuraninya bukan memilih berdasarkan amplopnya. Jangan mengandalkan uang sebagai dalih sebuah pengorbanan kepada rakyat demi mendapatkan posisi atau jabatan. Jadilah pemimpin yang bijaksana dan jujur serta dapat memberikan contoh teladan yang baik untuk rakyatnya, jangan cuma hobi pencitraan.

Ayo kita bangun GERAKAN ANTI POLITIK UANG di setiap tempat pemungutan suara. Jika menemukan praktik politik uang, segera laporkan kepada pihak yang berwenang agar si pelaku jera dan merasa malu. Jadilah masyarakat yang pintar. Jangan sampai kita sebagai pemilih hanya menganggap memilih dalam pemilu adalah sebuah kewajiban kerja, bukan kesadaran demokrasi.

Seharusnya kita meletakkan aktivitas memilih sebagai bagian dari pemenuhan hak warga negara bukan sebagai aktivitas kerja. Kalau melihat pemilu sebagai aktivitas kerja maka politik uang yang mereka lihat sebagai hal yang wajar. Dan mari kawal proses pilgub 2017 di Banten sebagai pesta demokrasi yang berjalan lancar, jujur, adil, dan bersih. LAWAN semua bentuk praktik politik perut untuk sebuah proses demokrasi yang fair, berkualitas, dan bermartabat untuk menuju Banten yang maju.

*Kiren (Kristanto, Idoh, Reza, Esa, dan Novi), Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta.