Merdeka itu Sederhana (Oleh : Ari Supriadi*)

0
153

Serang,fesbukbantennews.com (16/8/2017) – MERDEKA. Kata ‘merdeka’ dikutip dari Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan MB Rahimsyah dan Satyo Adhie bermakna “bebas dari penjajah”. Makna serupa juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di laman kbbi.kemdikbud.go.id. Dalam kamus tersebut kata ‘merdeka’ bermakna ‘bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya’.

Ari Supriadi.(ist)

Tepat 17 Agustus 2017 seluruh tumpah darah Indonesia akan memperingati Hari Kemerdekaan ke-72. Di usia ke-72 tahun tentunya bukan waktu yang singkat bagi bangsa Indonesia untuk membangun nilai-nilai peradaban.

Penulis teringat akan qoute John F Kennedy (Presiden Amerika Serikat ke-35) yang cukup menggugah rasa nasionalisme, yakni ‘Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!’.

Kalimat tersebut jelas tergambar tugas warga negara untuk membangun negerinya. Tentunya semenjak proklamator, Presiden Ir Soekarno membacakan naskah proklamasi 17 Agustus 1945, sudah tidak terhitung generasi penerus bangsa yang mengisi kemerdekaan dengan cara dan karyanya masing-masing.

Teringat sejak masih berseragam putih-merah, putih-biru dan putih-abuabu, tiap upacara HUT RI selalu terngiang amanat dari pembina upacara dan salah satunya adalah soal mengisi kemerdekaan. Jika dulu para pahlawan merebut kemerdekaan dengan maju ke medan perang dan mengorbankan jiwa raganya. Namun tentu di era kemerdekaan ini, mengisi lembar-lembar kemerdekaan sudah tidak  lagi seperti itu.

Sejatinya mengisi kemerdekaan tidakmelulu dengan melakukan hal-hal besar atau menunggu kita menjadi orang besar atau memiliki jabatan tertentu.  Karena mengisi kemerdekaan bisa dilakukan dengan hal-hal kecil, namun tentu bermanfaat bagi khalayak umum.

Pada hakikatnya manusia merdeka akan mampu menghormati hak kemerdekaan manusia lainnya. Manusia merdeka berarti tidak akan merampas hak saudaranya, baik saudara seiman, sebangsa ataupun sesama manusia tanpa melihat suku, adat, ras, dan agama.

Melihat fenomena beberapa waktu terakhir, sepertinya kita harus bertanya apakah kita sudah benar-benar merdeka dan mampu menghormati hak kemerdekaan orang lain.

Dalam sejumlah pemberitaan media massa, kita mengetahui adanya perilaku persekusi (pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas) oleh kelompok tertentu,bullying (perundungan) di sekolah dan kampus, ujaran kebencian, berita bohong atau hoax di media sosial, penyerobotan hak pejalan kaki oleh pemotor di trotoar atau kasus lain yang pada intinya adalah merampas hak orang lain.

Peristiwa terbaru adalah kasus main hakim sendiri atau tepatnya persekusi yang menimpa MA di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa 1 Agustus lalu. Kasus tersebut tentunya sangat miris karena terjadi pada bulan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sekali lagi, kasus tersebut terjadi pada bulan apapun tetap tidak dibenarkan karena perilaku seperti itu tidak menunjukkan kita sebagai bangsa yang sudah merdeka dan beradab.

Sederet kasus tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata dan perlu perhatian serius dari semua eleman bangsa. Seharusnya peristiwa itu sudah tidak terjadi di tengah masyarakat (yang katanya) modern, cerdas, maju dan kekinian dalam memanfaatkan teknologi informasi. Sebagai umat yang beradab kita harusnya malu dan menghentikan semua perilaku yang selain bisa merugikan orang lain dan juga berdampak secara hukum.

Revolusi Mental

Presiden Joko Widodo (Jokowi) semenjak masa kampanye Pilpres 2014 hingga dilantik bersama Jusuf Kalla sudah menggaungkan Gerakan Nasional Revolusi Mental. Sebenarnya konsep revolusi mental sudah dikumandangkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956.

Sang Proklamator mengartikan revolusi mental sebagai, “Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”.

Gerakan Nasional Revolusi Mental memiliki delapan prinsip. Pada prinsip pertama adalah, Revolusi Mental adalah gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik dan prinsip ketujuh disebutkan, nilai-nilai yang dikembangkan terutama ditujukan untuk mengatur moralitas publik (sosial) bukan moralitas privat (individual).

Terlepas dari kontroversi Gerakan Nasional Revolusi Mental yang oleh beberapa kalangan dituding mirip dengan jargon salah satu partai terlarang. Namun rasanya tujuan dari Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah baik. Revolusi mental harus dilakukan secara berjamaah mulai dari ujung Aceh hingga  Papua, tanpa terkecuali.

Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan dan kapan kita memulai Gerakan Nasional Revolusi Mental? Hemat penulis, untuk berubah ke arah yang lebih baik tidak ada terlambat dan tidak mesti melakukan dengan hal-hal besar.

Revolusi mental bisa dilakukan dengan hal yang paling kecil dan dilakukan  mulai sekarang. Ya sekarang, tidak besok, lusa, atau kapan tahun. Memulai revolusi mental yang paling sederhana contohnya adalah dengan menghargai hak-hak orang lain. Ketika berkendara di jalan raya, kita harusnya sudah tidak lagi menerobos lampu merah, tidak berkendara di atas trotoar dan lebih mengutamakan pejalan kaki.

Karena hakikatnya dengan merampas hak orang lain adalah sama saja kita melanggengkan bentuk penjajahan di era kemerdekaan.

Hal kecil lain adalah dengan membuang sampah pada tempatnya. Sepertinya tidak ada hubungannya antara sampah dengan hak individu, tentu ada dan sangat ada. Karena tiap sampah yang kita buang (sembarangan), tentu akan berdampak negatif terhadap alam dan (merepotkan) orang lain.

Apakah kita tidak pernah melihat setiap pagi-pagi buta para petugas kebersihan sudah menyisir area publik, seperti pasar, alun-alun, terminal, pelabuhan dan lainnya untuk membersihkan sampah yang dibuang oleh orang-orang (yang katanya sudah merdeka).

Karena setiap perbuatan kita (baik negatif ataupun positif) tentu akan berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain, termasuk juga lingkungan.

Sudah saatnya kita mulai melakukan perubahan (positif), mulai dari diri kita dan dimulai hari ini. Diharapkan dengan perubahan individu tersebut akan menjadi kumparan hebat yang pada akhirnya akan menjadi perubahan bersama (sosial).

Jadi jika kita belum bisa berkontribusi secara positif untuk mengisi kemerdekaan, maka langkah lain adalah dengan tidak melakukan hal-hal (maaf) bodoh yang bisa merusak nilai-nilai kemerdekaan dan bangunan peradaban bangsa.

Dari setiap perubahan itu kita semua berharap akan membawa Indonesia menjadi negara yang memiliki peradaban lebih tinggi dibanding negara dan bangsa lainnya. Salam Merdeka dan Salam Revolusi Mental.(LLJ)

*) Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Prodi Magister Administrasi Pemerintahan Daerah di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cilandak, Jakarta Selatan. Penulis berdomisili di Kabupaten Pandeglang.