Menangkal Hoax dengan Praktik Literasi Positif

0
198

Pandeglang,fesbukbantennews.com (9/6/2017) –  Balai Ilmu Rafe’i Ali Institute kembali menyelenggarakan kajian dalam rangka mengisi kegiatan “Ramadhan Bulan Iqra dan Kalam”. Kali ini, Kamis (8/6), giliran Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Pusat, Firman Venayaksa diundang untuk membawakan materi diskusi “Islam, Literasi dan Kebangsaan”. Diskusi  berlangsung pukul 20.30 hingga pukul 22.00 WIB dipandu moderator Ginanjar Hambali dan diikuti puluhan peserta dari berbagai macam latar belakang. Sebagai bintang tamu, Pendiri Rumah Dunia, Gol A Gong pun ikut duduk bersama para peserta di RAI sambil menikmati sajian pisang rebus dan bandrek. 

Firman Venayaksa (kiri) dan Ginanjar Hambali.

 

Direktur Utama Rafe’i Ali Institute (RAI), Atih Ardiansyah menyatakan tema ini diambil karena saat ini banyak informasi hoax beredar.

 

Sementara Tuan Rumah RAI, Tb. H. Agus Chotibul Umam menyatakan rasa terima kasih atas kehadiran para tamu undangan. Dalam sambutannya ia menegaskan pentingnya menjadi “anfauhum linnaas” atau menjadi pribadi yang bermanfaat di tengah-tengah masyarakat dan itulah, menurutnya yang sedang dilakukan para pegiat literasi saat ini.

 

Di awal diskusi tentang Islam, Literasi dan Kebangsaan, Ginanjar Hambali, yang juga Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Banten sempat menggulirkan kritik seputar kondisi masyarakat saat ini. Ia menyatakan saat ini banyak informasi hoax beredar. Ironisnya, yang ikut menyebarkan berita tidak benar tersebut bukan hanya orang yang awam, namun juga orang-orang berpendidikan. Ini dikhawatirkan akan semakin menciptakan kesenjangan dan bahkan bisa memecah belah kesatuan dan persatuan.

Bintang Tamu Gol A Gong.

Kondisi itu pun diamini Firman Venayaksa. Ia menyatakan di Banten sendiri yang terkenal dekat dengan literasi dan ulama semestinya hal-hal tersebut bisa dibendung, namun nyatanya tidak. Sebagai masyarakat yang akrab dengan dunia baca tulis, serta dekat dengan para ulama, sepatutnya, kata Firman, masyarakat berpikir untuk bertanggung jawab akan apa yang dibagikannya melalui broadcast atau sosial media lainnya. Apalagi jika kalangan terdidik ikut menebarkannya juga, bisa dipastikan ada yang salah dengan proses “Iqra” yang dilakukan selama ini.

 

“Indonesia memang dikenal senang berbagi.  Kebudayaan berbagi yang adiluhung itu ternyata tidak di-maintenance dengan pengetahuan yang baik, sehingga saat berbagi masyarakat juga berbagi yang buruk. Nah, Fenomena literer itu harus kita bahas. Fenomena baru yang bisa meretakkan kebangsaan,” katanya.

 

Oleh karena itu kata Firman, dunia literasi ada seharusnya bisa menjadi penyaring misalnya saat seseorang hendak membagikan konten tertentu. Maka, praktik-praktik literasi yang baik harus ditularkan, sehingga ketika seseorang membaca, bukan lagi sekadar membaca tetapi bisa membaca kritis.(LLJ)

 

Pengirim : Arra