Mempertahankan Air, Mempertahankan Kehidupan (oleh : Imam ZH*

0
278

Serang,fesbukbantennews.com (11/2/2017) – Air adalah hak. PBB sudah merilis kebutuhan air oleh penduduk di Bumi meningkat hingga 40%. 783 Juta manusia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Demi berlangsungnya kehidupan, maka upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan air bersih selalu diutamakan. Musuh manusia dalam berbagi air bersih, bukan ikan paus atau atau tumbuh-tumbuhan. Tapi kerakusan diantara manusia itu sendiri. Penguasaan air oleh segelintir pihak atau oleh Perusahaan dengan tujuan profit semata merupakan persoalan yang paling utama. Proses ini umumnya dikenal dengan istilah Privatisasi.  

Imam. Zanatul Hari.

Proyeksi Privatisasi umumnya didukung oleh lembaga bantuan dana seperti IMF hingga World Bank. Lembaga donor tersebut—dengan Ideologi Neoliberalisme–memiliki pemahaman bahwa privatisasi sektor publik termasuk akses terhadap air merupakan lahan yang menguntungkan bagi pendanaan sektor publik. Artinya pelayanan publik diserahkan pada swasta. Biasanya privatisasi sektor publik seperti penguasaan akses air merupakan salahsatu prasyarat digelontorkannya dana bantuan dan hutang terhadap Negara yang meminjam dana. Negara-Negara Dunia ketiga seperti Indonesia adalah langganan dalam persoalan tersebut. Tentu saja keberpihakan Pemerintah terhadap dikte lembaga donor tersebut adalah niscaya. Hal tersebut seringkali membuat pemerintah dalam posisi tawar yang rendah, bahkan masyarakat cenderung dirugikan. Bahkan Rosa Pavanelli (Sekertaris jendral Public Service International) menyatakan bahwa privatisasi air sudah gagal memenuhi janji-janjinya. Sebab tidak ada konsultasi publik, terlalu banyak negosiasi rahasia dan jani-janji yang palsu (The Guardian, 18/03/15).

Dalam lingkup yang lebih kecil, privatisasi air terjadi diberbagai daerah termasuk Pandeglang. pada tanggal 9 Desember  2013, PT Tirta Fresindo Jaya mendapat ijin dari Dinas Tata Ruang dan Tata Wilayah melalui SK nomor 600/548.b/SK-DTKP/XII/2013 untuk membangun suatu pabrik Air kemasan di daerah Cadasari. Beragam penolakan sudah terjadi sejak tahun 2014, hingga Ulama besar Abuya Muhtadi pasang badan mendukung warga Cadasari menolak keberadaan pabrik tersebut.

Sesuai dengan Perda Kab Pandeglang No 3 tahun 2011 Pasal 35 ayat 4 bahwa kawasan Cadasari merupakan kawasan lindung geologi, yang memiliki beberapa titik mata air. Penolakan tersebut bersambut baik dengan keputusan Bupati Erwan Kurtubi yang mengeluarkan pembatalan ijin Perusahaan tersebut (SK 0454/1669-BPPT/2014). Ketua DPRD Pandeglang sampai mengeluarkan surat himbauan agar pembangunan Pabrik tersebut dihentikan. Namun, sampai hari ini proses pembangunan pabrik air kemasan tersebut terus berlangsung. Warga yang merasa pemerintah tidak mampu menghentikan kegiatan pabrik tersebut, akhirnya melancarkan beragam aksi di depan Kantor Bupati dan didepan Pabrik tersebut.

Puncaknya pada tanggal 6 Februari 2017 warga menggelar aksi menerobos kawasan pabrik tersebut. Terjadi beberapa peristiwa yang mengakibatkan satu belko terbakar. Setelah peristiwa tersebut, terjadi penangkapan diam-diam aparat kepolisian terhadap warga “terduga” perusak fasilitas pabrik. Penculikan tanpa surat penangkapan ini sempat diprotes oleh LBH Rakyat Banten yang menjadi kuasa hukum Warga (Radar Banten, 9 Februari 2017)

Sayangnya, beberapa media menggunakan Frame bahwa warga menolak investasi. Bahkan terdapat anggapan bahwa aksi warga tersebut bukan berasal dari warga asli Cadasari, namun warga perbatasan Cadasari, yakni Kecamatan Baros yang masuk kabupaten Serang. Hal ini senada dengan pernyataan  Bupati Pandeglang Irna Nurrulita yang menyatakan  “mudah-mudahan warga Serang lebih bijak … saya khawatir masyarakat ini hanya terprovokasi oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan pribadi”(MenaraNews, 06/02/17). Penggiringan opini bahwa penolakan merupakan sikap tradisional (Menolak Investasi) hingga asumsi bahwa terdapat kelompok luar (Kabupaten Serang) yang memanfaatkan keadaan, merupakan cara-cara kotor untuk mengaburkan persoalan yang paling utama dari gairah penolakan tersebut. Melupakan bahwa Warga hanya ingin mempertahankan sumber lingkungan hidupnya; air.

Mengurangi Pengangguran?

Asumsi lainnya menganggap bahwa pembangunan pabrik mendatangkan akses lowongan kerja. Sehingga dapat mengurangi pengangguran. Persoalannya, hitungan mengenai penyerapan tenaga kerja “warga setempat” selalu dibuktikan dengan angka-angka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terdapat kecenderungan monopoli kelompok tertentu untuk menjadikan akses kerja sebagai proses transaksional. Seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya menyebutkan bahwa seorang lurah bahkan sudah menarik tarif bagi warga yang ingin bekerja di pabrik yang belum jadi tersebut.

Pembangunan pabrik air kemasan akan membuka peluang terbukanya lowongan kerja yang sebagian besar akan ditempatkan sebagai buruh. Namun, perhitungan demografi di Indonesia yang menyebutkan bahwa akan terdapat surplus penduduk usia produktif–hanya sinyal akan bahwa persaingan kerja akan semakin ketat. Sudah bukan rahasia lagi, bila pemilik pabrik akan bekerjasama dengan perusahaan penyuplai tenaga kerja (Outsourching) agar menjadikan buruhnya berada dalam status “Kontrak” secara permanen.

Permainan ini akan membuat kondisi struktur sosial masyarakat Pandeglang yang dikenal religius dan tradisional menjadi individualis dan homo homini lupus. Hasil yang buruk ini bertolakbelakang dengan cita-cita pemerintah pusat yang ingin menstimulus masyarakat indonesia dari masyarakat “pekerja” menjadi masyarakat “pengusaha”.  Tentu saja, angan-angan yang dibangun dari pembangunan pabrik air kemasan merupakan suatu kemunduran terhadap cita-cita Pemerintah Pusat untuk menjadikan Indonesia menuju negara produktif. Latahnya pemerintah daerah terhadap investasi, membuktikan minimnya inovasi dan kreasi Pemerintah daerah dalam mengelola dan membangkitkan pengusaha-pengusaha lokal. Terutama potensi wisata yang dipromosikan namun minim eksekusi; sehingga tidak pernah terfikir dalam benak mereka kawasan Cadasari bisa dijadikan desa Wisata atau kawasan labotarium pertanian. Padahal dasar dari cita-cita ini sudah tertuang dalam Perda Kab Pandeglang nomor 3 tahun 2011 Pasal 31-35 (wilayah Geologi Resapan Air) dan Pasal 39 (Pertanian).

 

Promosi Wisata Alam

Anggapan penolakan terhadap pabrik air kemasan bahwa warga cadasari anti investasi dan warga baros (Serang) tidak layak untuk ikut protes berasal dari minimnya kesadaran lingkungan para pejabat dan frame media dalam memberitakan aksi warga. Perbedaan antara Cadasari dan Baros merupakan pembagian wilayah Administrasi. Sedangkan cadangan akses air tanah tidak mengenal batas-batas administrasi. Bukan tidak mungkin pembangunan pabrik Air kemasan yang akan menyedot air bersih dalam jumlah yang sangat besar akan mempengaruhi suplai air bersih sehari-hari dan pengairan sawah warga Baros.  Ironi ini semakin memalukan ketika dilokasi Pabrik air kemasan yang hendak didirikan, terdapat gapura perbatasan antara Cadasari (Pandeglang) dan Baros (Serang) yang bertuliskan: “Selamat Datang di Kota Wisata Pandeglang”.

Paradigma pariwisata di Indonesia umumnya mempersembahkan keindahan alam eksotis yang terus terjaga. Beragam kampanye yang dilakukan kementrian Pariwisata hingga seluruh Kepala Daerah, dilakukan agar menarik wisatawan untuk menikmati keindahan alam di daerah tersebut. Seperti juga daerah lainnya, Pandeglang memiliki agen resmi pemerintah dengan nama “Explore Pandeglang” untuk mempromosikan keindahan alamnya. Disisi lain, pemerintah Pandeglang tidak hadir untuk menolak investasi berbentuk “pembangunan Pabrik” yang secara langsung akan mempengaruhi panorama alam diwilayahnya. Dualisme ini hanya menunjukan lemahnya Pemerintahan daerah Kabupaten Pandeglang atas komitmennya sendiri menjadikan daerahnya sebagai kota Wisata alam.

Penyelamat Masa Depan

Para Kyai, Ustad dan santri Cadasari-Baros yang terus melakukan gelombang aksi menolak pembangunan pabrik tersebut merupakan martir terdepan dalam melindungi alam dari manusia-manusia perusak. Mereka rela berjibaku dalam aksi yang memiliki resiko melawan hukum, bahkan 3 diantaranya masih ditahan Polres Pandeglang (Fesbukbantennews, 09/02/17)

Tentu, komitmen dan semangat warga dan ulama untuk melawan privatisasi air melalui pembangunan pabrik Air kemasan adalah titah agama yang paling luhur. Tuduhan bahwa penolakan warga terhadap pembangunan Pabrik Air kemasan sebagai sikap menolak investasi merupakan tuduhan yang keliru. Justru, penolakan terhadap perusak lingkungan adalah sikap futuristik, yang sudah dilakukan oleh Negara-Negara Maju—dengan mencoba energi alternatif terbarukan dan mendorong komitmen investor terhadap lingkungan. Membiarkan pembangunan pabrik air kemasan berdiri di Kabupaten Pandeglang adalah cara cepat menghancurkan investasi kita dalam mempertahankan bumi bagi generasi mendatang.(LLJ).

*Iman Zanatul Haeri  (LBH Rakyat Banten)