Mantan Narapidana Tipikor dan Caleg Harapan Rakyat Pada Pemilu 2019 (oleh: Samsuri*)

0
244

Serang, fesbukbantennews.com (4/9/2018) – Pesta demokrasi untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2019 sudah didepan mata dan digelar serentak tepatnya hari Rabu, tanggal 17 April Tahun 2019.

Anggota KPU Kabupaten Pandeglang , Samsuri.(ist)

Sekarang sudah masuk pada tahapan pengajuan bakal calon Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dimulai pada tanggal 4 sampai 17 Juli 2018 Serta pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden yang dimulai tanggal 4 sampai 10 Agustus 2018.

Tahapan penjaringan bakal calon anggota legsilatif ini telah dibuka secara internal oleh partai politik peserta Pemilu guna menempatkan bakal calon legislatif yang akan mengisi alokasi kursi dari setiap dapil yang telah ditetapkan, tentu dalam proses pengisian daftar caleg tersebut dilakukan seleksi baik secara administrasi, wawancara dan psikotes berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku dan peraturan yang dibuat oleh Penyelenggara Pemilu (KPU).

Dalam penjaringan bakal calon anggota legislatif yang sedang berjalan oleh partai politik peserta Pemilu itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 4 ayat 3 “Dalam seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sebagaimana pada ayat 2 tidak menyertakan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi” jo pasal 6 ayat 1 huruf e “ pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD Prov dan DPRD kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 yang berisi rincian daftar bakal calon untuk setiap dapil yang tercantum dalam formulir model B.1” jo pasal 18 ayat 15 “ dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dana atau laporan masyarakat, terbukti bakal calon anggota DPR, DPRD Prov dan DPRD kabupaten/Kota yang diajukan oleh partai politik tidak sesuai dengan pakta integritas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf e, partai politik dapat menganti bakal calon yang bersangkutan.” terkait Larangan kepada mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi Calon Legislatif Tahun 2019.

Argumentasi KPU terkait pelarangan itu bahwa berdasarkan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU diberikan hak oleh Undang-undang secara mandiri membuat Peraturan (PKPU) yang menurutnya perlu dan sejalan dengan kebutuhan di lapangan sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang Pemilu yang berlaku, KPU juga menjadikan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 sebagai acuan untuk menyusun larangan bagi mantan narapidana korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 2019, dimana Undang-undang tersebut mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Argumentasi lainnya ini merupakan upaya untuk membuat pemilu itu lebih baik.

Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, upaya KPU untuk membuat aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif merupakan bagian dari membangun integritas peserta pemilu. Juga untuk menjawab kebutuhan masyarakat luas atas pengaturan pemilu yang berpihak kepada gerakan antikorupsi. Karena kasus korupsi, terorisme, dan narkotika merupakan jenis tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime).

Sehingga mantan narapidana kasus-kasus diatas sepatutnya dinilai tidak layak menjadi wakil rakyat, dan semua pihak harus ambil bagian untuk memeranginya.

Menurut Mahfud Md, larangan itu merupakan sanksi sosial dan sekaligus sanksi politik bagi para mantan koruptor. Indonesia memang sebaiknya meniru negara-negara lain untuk menyaring/menjaring setiap calon yang ingin menduduki posisi penting dalam jabatan publik termasuk Anggota Dewan. Sebelumnya, bahwa Indonesia pernah menerapkan hal tersebut melalui hukum yang diwariskan oleh Belanda. Namun, hukum itu direvisi sehingga membolehkan mantan narapidana bisa kembali mengikuti Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum dengan ketentuan hukuman yang terima atau yang jalani tidak lebih dari lima tahun.

Pasalnya pakta integritas menjadi salah satu syarat dalam penyerahan berkas pendaftaran. Formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan.

“Silakan publik menilai. Kami sudah mengatur sebaiknya pada saat mendaftar itu sudah tidak menyertakan bakal calon yang terlibat tindak pidana tiga hal itu,” kata Arief.

Keinginan dan harapan Komis Pemilihan Umum ternyata bertepuk sebelah tangan, beberapa hari yang lalu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan 5 mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif di Pileg 2019 nanti. Keputusan Bawaslu ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya para aktivis dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti korupsi.

Bawaslu dinilai tidak sehati dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, keputusan Bawaslu ini bertentangan dengan peraturan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg di Pileg 2019. Keputusan Bawaslu ini membuat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih yang terdiri dari LSM, ormas dan aktivis antikorupsi mengecam dan membuat surat terbuka.

Koalisi masyarakat ini terdiri dari ICW, Kode Inisiatif, Perludem, NETGRIT, Pemuda Muhammadiyah, Banten Bersih, ,Komunitas Bahasa Jawa Serang (BJS) Madrasah Antikorupsi, ANSIPOL, PSHK dan KOPEL.

“Sikap Bawaslu yang mengabulkan permohonan sengketa pencalonan mantan napi korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU tidak hanya melukai impian kami mempunyai legislatif yang lebih bersih tetapi juga membuat kami bertanya-tanya. Ada apa dengan Bawaslu?” dikutip dari surat terbuka untuk Bawaslu dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, Jumat (31/8).

Seharusnya, kata mereka, putusan Bawaslu ini tidak sepatutnya Bawaslu mengabaikan Peraturan KPU dalam memutus sengketa pencalonan pemilu. Meski saat ini peraturan KPU tersebut sedang diuji materi di Mahkamah Agung, bukan berarti peraturan KPU itu otomatis menjadi gugur. Sebab, hingga saat ini belum ada putusan MA yang menyebutkan peraturan KPU bertentangan dengan UU.

“Artinya, Bawaslu seharusnya tidak potong kompas dan menarik simpulan sendiri dikarenakan koreksi atas Peraturan KPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu,”

Bawaslu katanya, justru diamanatkan mengawasi pelaksanaan peraturan KPU, sebagaimana disebut dalam pasal 93 huruf l UU Pemilu. Bawaslu sebagai tulang punggung pengawasan pemilu seharusnya memastikan bahwa tidak ada mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba yang diloloskan sebagai calon anggota legislatif oleh KPU.

“Harapan dan tuntutan kami ini tidak hanya berangkat dari semangat untuk memiliki Legislatif yang lebih baik dan bersih, tetapi juga demi adanya kepastian hukum dalam pencalonan anggota legislatif pemilu 2019. Kami yakin, Bawaslu RI mempunyai semangat yang sama dan memahami bahwa Peraturan KPU tentang Pencalonan masih sah dan berlaku, sepanjang tidak dikoreksi oleh MA.”

Terlepas pro dan kontra terhadap putusan Bawaslu tersebut, kami selaku elemen masyarakat harus menyadari bahwa kontestasi politik 2019 harus menghadirkan caleg yang berintegritas, bersih, memiliki agenda program, visi misi, kinerja dan penguasaan atas tanggung jawabnya sebagai seorang yang mewakili rakyat.(LLJ)

 

*Samsuri : Anggota KPU Kabupaten Pandeglang.