Kelembagaan Pangan Bukan BUMD Agribisnis (Oleh : Angga Hemanda*)

0
238

Serang,fesbukbantennews.com (23/2/2018) – Memasuki awal tahun 2018, masyarakat Indonesia terkhusus Banten dikejutkan dengan kenaikan tajam harga beras dipasaran. Secara nasional berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan berada diangka Rp. 9.526,- per kg atau naik sebesar 2,66 persen dari bulan sebelumnya. Begitupun dengan beras kualitas premium naik 3,37 persen menjadi Rp. 9.860,- per kg dan beras kualitas rendah naik 2,98 persen menjadi Rp. 9.309,- per kg.

Ilustrasi.(foto: bagja)

Jika dibandingkan dengan Desember 2016, rata-rata harga beras di tingkat penggilingan pada Desember 2017 untuk semua kualitas mengalami kenaikan, yaitu premium sebesar 5,54 persen, medium sebesar 5,04 persen, dan rendah sebesar 7,52 persen.

Sementara itu, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) harga beras di pasar Rawu, Kota Serang, Banten masih terpantau tinggi. Pada 22 Februari 2018, untuk beras kualitas bawah I tercatat sebesar Rp. 10.150,- per kg. Kemudian untuk harga beras kualitas medium I mengalami kenaikan dibanding harga awal tahun 2018, dari Rp. 10.850,- per kg menjadi Rp. 11.150 per kg.

Kenaikan harga juga terjadi pada beras kualitas super I. Pada awal Januari 2018, beras kualitas super I di Pasar Rawu dihargai sebesar Rp. 12.500,- per kg, kemudian mengalami kenaikan menjadi Rp. 12.700,- per kg pada 22 Februari 2018.
Kenaikan beras yang terjadi di Provinsi Banten pada pergantian tahun ini menyibak pertanyaan. Sebagai provinsi yang masuk kedalam urutan sepuluh besar penyumbang produksi gabah nasional, Banten seharusnya mampu mengendalikan harga beras di pasar.

Seperti diketahui Banten dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini selalu mampu memproduksi gabah diatas dua juta ton per tahun. Keanehan tersebut beberapa saat yang lalu diakui oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten, bahwa gabah dan beras dari Banten sebagian besar memang dilarikan ke Jakarta dan Karawang. Mirisnya, gabah yang sudah digiling menjadi beras lalu dikemas “Cap Karawang” justru kembali lagi ke pasar-pasar di Banten. Belum lagi terkait ribuan ton beras impor yang sudah mengisi gudang-gudang Bulog di Banten pada Februari inj. Hal ini mengungkapkan dengan jelas bahwa ada yang kurang tepat dalam pengelolaan tata niaga pangan terkhusus beras di Banten.

_*Kesejahteraan Petani Banten*_

Kenaikan harga beras di pasar tidak sepenuhnya dirasakan langsung oleh para petani padi di Banten. Walau secara rata-rata terjadi kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) dilapangan, namun jika dikalkulasikan pendapatan dalam setahun, petani lebih banyak merugi. Pada pertengehan tahun 2017 lalu, petani padi di sentra produksi padi Banten; Kab. Pandeglang, Kab. Lebak dan Kab. Serang, banyak yang mengalami gagal panen atau puso.

Terdapat beberapa faktor petani padi mengalami puso, yakni antara lain serangan hama wereng, ganguan penyakit tanaman, sampai kepada benih yang diberikan pemerintah tidak berkualitas.

Belum lagi petani tidak memiliki pilihan lain untuk menjual gabah dan beras ke swasta. Karena ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras petani sudah usang, tidak relevan dan jauh lebih rendah dari harga yang ditawarkan swasta. Serapan gabah/beras Bulog saat ini masih mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 yang menetapkan harga GKP sebesar Rp. 3.700,- per kg, GKG Rp. 4.600,- per kg dan Beras Rp. 7.300,- per kg.

Keresahan petani dipertegas dengan data Nilai Tukar Petani (NTP) yang diterbitkan BPS. Sepanjang tahun 2017, NTP Banten hanya berkutat fluktuatif dikisaran 97 sampai dengan 101 persen. Bahkan jika ditilik per November 2015, angka NTP Banten yang sempat berada diposisi 107,53 poin justru menukik tajam menjadi 97,92 pada Februari 2017. Walaupun secara perlahan mulai naik sampai akhir tahun 2017 yang lalu.

Karena NTP berada diposisi yang tidak jauh lebih tinggi dari 100, maka petani Banten khususnya petani padi dapat dikatakan belum sejahtera. Terlebih berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS bulan September 2017, jumlah penduduk miskin di Banten bertambah sebesar 24,79 ribu orang dari 675,04 ribu orang pada Maret 2017 menjadi 699,83 ribu orang pada bulan September 2017.

Peningkatan angka kemiskinan ini sangat mengkhawatirkan, terutama di perdesaan. Karena penduduk desa yang sebagian besar berprofesi petani sebagai produsen gabah dan beras, disatu waktu juga menjadi konsumen yang membeli beras.

*Kelembagaan Pangan atau BUMD Agribisnis?*

Dilatarbelakangi oleh gejolak harga beras sejak akhir tahun 2017 sampai dengan awal tahun 2018 ini, pemerintah Provinsi Banten berencana mendirikan suatu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan mengatur tata niaga pangan. Ditengah pemeritah pusat mengambil jalan pintas nan sesat yakni impor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 500.000 ton, pemerintah Provinsi Banten mewacanakan solusi mendirikan BUMD Agribisnis.

Menjelang panen raya padi pada Fabruari-April 2018, impor beras memang hanya akan menekan harga gabah dan beras ditingkat petani.
Sebetulnya untuk mengatasi permasalahan pangan ini sudah terjawab dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. UU Pangan memandatkan pemerintah untuk membentuk kelembagaan pangan. Namun sampai saat ini pemerintah pusat telah melanggar mandat tersebut, karena sudah lebih dari lima tahun sejak UU Pangan disahkan pada tahun 2012, kelembagaan pangan belum juga dibentuk. Walaupun demikian tidak ada salahnya jika kelambagaan pangan ini dibentuk di Provinsi Banten.

Kelembagaan pangan yang dimaksud UU Pangan, berbeda sama sekali dengan BUMD Agribisnis yang diwacanakan Gubernur Banten Wahidin Halim (WH). BUMD Agribisnis tak ubahnya seperti Perum Bulog yang saat ini berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan status badan usaha, badan ini diharuskan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Padahal yang dibutuhkan masyarakat Banten adalah lembaga atau badan yang menjadi penyangga pangan dan mampu mengendalikan harga pangan dengan cepat.

Kriteria tersebut sebetulnya ada pada kelembagaan pangan berdasar mandat UU Pangan. Kelembagaan pangan bukanlah badan usaha, tetapi lembaga atau badan yang menyangga persediaan dan mentsabilkan harga pangan. Jika diumpamakan, kurang lebih sama halnya dengan Bulog sebelum dilemahkan IMF (Dana Moneter Internasional) melalui surat perjanjian kerjasama pada tahun 1998 yang lalu.

Kelembagaan pangan di Banten nantinya akan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Banten.
Dalam hal penyerapan gabah dan beras petani, kelembagaan pangan ini akan menjadi mitra perum bulog. Sehingga diharapkan kompetisi dari keduanya mampu mengerek naik harga gabah dan beras yang dibeli dari petani. Dengan demikian, mempersempit ruang gerak swasta menimbun dan mempermainkan harga pangan.

Kelembagaan pangan juga dapat mengoprasionalkan HPP dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pangan yang ditetapkan pemerintah pusat untuk menjaga harga ditingkat petani dan konsumen. Terkait dasar hukum pembentukan di daerah, karena belum meiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pangan, Kelembagaan Pangan dapat dimasukan kedalam Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang saat ini masih dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten. Selain itu Kelembagaan Pangan juga bisa menjadi Pansus di DPRD Provinsi Banten, sama hal nya dengan Pansus BUMD Agribisnis yang sedang bergulir. Jadi setelah semua ini Pak WH pilih yang mana?.
(Rdn/LLJ)

Penulis:
Angga Hermanda
_Sekretaris Damar Leuit dan Pemerhati Kedaulatan Pangan Banten_