Kenaikan Tarif Cukai Rokok dan Langkah Strategisnya dalam Mengendalikan Konsumsi Rokok (oleh : Haridah Iswiyani*)

0
741
Haridah Iswiyani.

Serang,fesbukbantennews.com (28/12/2024) – Rokok merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berdaya saing tinggi. Terdapat banyak perusahaan yang memproduksi berbagai macam merek rokok. Menjamurnya industri ini dikarenakan mudahnya mendapatkan bahan baku produksi.Haridah Iswiyani.

Sekarang, merokok telah menjadi gaya hidup banyak insan. Alasan yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah adanya rasa ingin mendapatkan pengakuan. Rokok telah menjadi simbol status maskulinitas di mata masyarakat (Ramadani & Agustang, 2023). Seorang pria yang tidak merokok dianggap belum menjadi pria seutuhnya. Adanya faktor – faktor tersebut semakin meningkatkan prevalensi perokok di Indonesia. Semakin banyak jumlah perokok, maka tingkat permintaan semakin tinggi. Peningkatan penjualan tentu akan menjadi keuntungan bagi perusahaan. Hal tersebut tentu menjadikan industri rokok kian berkembang.

Sebagai salah satu komoditas industri tentunya industri rokok juga memiliki kewajiban dalam menyetorkan pajak untuk negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 dan PMK Nomor 192 Tahun 2022. Apabila merujuk pada PMK Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok, tujuannya adalah sebagai kontribusi dukungan program jaminan kesehatan masyarakat. Nantinya, paling sedikit 50% dari penerimaan pajak rokok digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani tepatnya pada tahun 2022 lalu, ia menyebut kenaikan CHT akan terus berlaku tahunan hingga 2027 mendatang. “Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15% untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,”.

Selain Untuk pembiayaan pelayanan kesehatan, kenaikan tarif pajak rokok berfungsi juga untuk mengendalikan konsumsi rokok agar masyarakat bisa lebih sehat sekaligus sebagai strategi untuk menggerek pendapatan negara. Akan tetapi perlu juga dijadikan bahan evaluasi adanya efek substitusi menjadi penghambat utama dalam menaikkan tarif pajak rokok, di mana konsumen beralih ke produk yang lebih murah, sementara peredaran rokok ilegal meningkat. Selain itu, produksi rokok legal menurun, jumlah pabrik berkurang, dan basis penerimaan negara menyusut.

Berdasarkan hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021, peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen atau potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah diperkirakan sebesar Rp 53,18 triliun.
Karena itu diperlukan juga kebijakan yang lebih komprehensif, seperti penguatan pengawasan terhadap rokok ilegal, strategi harga yang seimbang antar golongan, serta edukasi kesehatan untuk menekan permintaan rokok secara bertahap.

Pembelian rokok eceran juga menjadi alternatif bagi konsumen dalam menyiasati kenaikan cukai rokok yang biasanya dilakukan oleh konsumen remaja. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, yang dilakukan Kemenkes, jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya perokok berusia 10-18 tahun. Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019 menunjukkan, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3 persen (2016) menjadi 19,2 persen (2019).

Karena itu perlu adanya Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap promosi produk tembakau, terutama di media sosial dan acara yang ditujukan bagi generasi muda. Edukasi mengenai bahaya merokok melalui kurikulum sekolah, memperkuat kampanye kesehatan untuk melindungi generasi muda dari pengaruh industri tembakau. Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap promosi produk tembakau, terutama di media sosial dan acara yang ditujukan bagi generasi muda. Edukasi mengenai bahaya merokok melalui kurikulum sekolah, memperkuat kampanye kesehatan untuk melindungi generasi muda dari pengaruh industri tembakau.

Kesimpulan yang bisa didapatkan adalah untuk mengurangi jumlah konsumen rokok tidak hanya dilakukan dengan kenaikan cukai pajak rokok akan tetapi perlu juga langkah-langkah yang harus dilakukan yang menyertai kebijakan tersebut.

*Penulis: Haridah Iswiyani, SKM
(Mahasiswa S2 Kesehatan Daerah Universitas Indonesia Maju).