Berlaku Bijak Dalam Membela Hak Anak dan Dalam Melakukan Upaya Perlindungan Terhadap Anak (Ahmad Subhan*)

0
468

Pandeglang,fesbukbantennews.com (22/9/2022) – Akhir-akhir ini ramai di Media sosial dll terkait Anak Korban Kekerasan Seksual di Kecamatan Banjar dan Kasus-kasus yang terjadi di Kabupaten Pandeglang menjadi perhatian penulis.

Menyikapi persoalan ini penulis dan sekaligus sebagai Satuan Pekerja Sosial Kabupaten Pandeglang hanya ingin mengingatkan kepada berbagai pihak dalam upaya perlindungan anak kita harus tetap bijak dalam membela hak-hak anak dalam upaya perlindungan anak.

  1. Maraknya kasus-kasus yang menimpa anak tidak luput juga dari perhatian penulis mengingat pentingnya kualitas keluarga dalam perlindungan anak. Mengingat kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH), terutama anak korban yang belum mendapatkan hak-haknya dalam upaya perlindungan anak. Dan hampir rata-rata pelaku kejahatan terhadap anak orang-orang terdekatnya.
  2. Mendapatkan info dari berbagai Media massa Bahwa anak korban pelecehan seksual (Kasus Banjar) dilakukan mediasi agar permasalahan tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan, namun keluarga menolak dan setelah itu kepala desa berkata “apabila keluarga korban tidak mau damai, nanti tanggung sendiri akibatnya”. Ini harus juga menjadi perhatian serius dan Kepala Dinas DPMPD untuk memanggil oknum Kades tersebut untuk di lakukan Pembinaan.
  3. Ketika berbicara upaya perlindungan anak seharusnya semua unsur ikut terlibat karena, prilaku kekerasan pada anak dilakukan oleh orang sekelilingnya, dan korbannya hampir 70% perempuan dan anak usia 12-17 tahun. Penanganan kasus-kasus anak juga harus dilakukan penta helix bukan hanya parsial.
  4. Bukan hanya anak korban dan saksi tindak pidana yang perlu dilindungi identitasnya dalam pemberitaan. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana juga harus mendapat perlakuan sama

Perlindungan terhadap identitas anak sudah diatur dalam Pasal 19 UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasikakan dalam pemberitaaan di media cetak maupun elektronik,” begitu bunyi ayat 1 dalam pasal dalam sppa

“Identitas yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orangtua, alamat, wajah, dan hal lain yang mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi,” demikian bunyi ayat 2 dalam pasal yang sama.

  1. Peran serta masyarakat dapat dilakukan secara perseorangan maupun kelompok. Apabila dilakukan secara berkelompok pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. Undang-undang juga mengamanatkan dalam pelaksanaan peran masyarakat ini untuk melibatkan unsur akademisi, hal ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan masyarakat melalui sosialisasi dan segala bentuk edukasi lainnya mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak.
  2. Peran masyarakat dalam upaya perlindungan anak diatur dalam pasal 72 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak dan dibagi dalam delapan poin kegiatan.

“Apabila kekerasan terhadap anak sudah terlanjur terjadi, kewajiban masyarakat dalam negara hukum adalah melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak. Peran masyarakat tak berhenti hanya sampai pelaporan, terhadap anak yang telah menjadi korban kekerasan kewajiban lain yang harus dilaksanakan adalah berperan aktif untuk menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban kekerasan dan juga berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak”

  1. Sejatinya penanganan proses hukum kejahatan seksual juga harus dan wajib berorientasi pada korban, bukan hanya pada aspek keterpenuhan hukum semata. Dalam hal ini Penulis juga sudah melakukan upaya-upaya dan berkoordinasi dengan para pihak dalam upaya penegakan hukum bagi para korban kejahatan seksual.
  2. Harapan penulis selanjutnya adalah pada upaya pemaksimalan rehabilitasi fisik dan psikis korban. Baik dalam Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga KUHP tentang tindakan kekerasan seksual harus sudah tersaji proses dan cara rehabilitasi bahkan sampai dengan proses restitusi. Akan tetapi pada realisasinya, intervensi ini masih sangat jauh panggang dari api.
  3. Maka, wahai aktivis, organisatoris, aparatur hukum sebagai penanggungjawab keadilan, dan akhirnya kepada Negara serta Pemerintahan Daerah, saya mengajak, kita rubah paradigma perlindungan perempuan dan anak agar lebih inklusif, keberpihakan terhadap korban, pemberian keyakinan, kenyamanan, pelayanan maksimal serta pemberian restitusi bagi korban haruslah dilakukan setegak-tegaknya. Agar mereka, para korban dapat lebih merasa terbantu, para pelaku mendapatkan hukuman yang maksimal, sehingga menjadi satu informasi kepada masyarakat umumnya dan para pelaku, agar tidak ada lagi terjadi kasus-kasus sejenis dikemudian hari. Wallahu’alam.

*Penulis adalah: Ahmad Subhan Dosen STIA Banten, Ketua Pandeglangcaremovement, Pekerja Sosial dan Pemerhati Sosial.