Proyek PLTU Jawa 9 dan 10 Dilaporkan ke Departemen Keuangan Amerika Serikat

0
292

Serang,fesbukbantennews.com (24/8/2021) – Trend Asia beserta 37 organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara
mengirim surat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Surat ini berisi tuntutan kepada Pemerintah Amerika Serikat agar tegas menjalankan wewenangnya dalam upaya reformasi
kebijakan investasi Bank Pembangunan Multilateral (MDB).

PLTU Jawa 9&10 (.banhit).

Dalam surat tersebut, proyek PLTU Jawa 9 & 10 yang berada di Banten, menjadi salah satu
proyek yang disoroti. Tuntutan utamanya adalah International Finance Corporation (IFC), anak
usaha Bank Dunia—salah satu Bank Pembangunan Multilateral (MDB) yang begitu berpengaruh—harus segera menghentikan dukungan secara menyeluruh terhadap proyek
energi fosil dengan cara menarik ekuitas yang dimilikinya di Hana Bank Indonesia yang masih
berinvestasi di proyek PLTU Jawa 9 & 10.

Langkah ini penting untuk menekan Hana Bank
Indonesia agar segera berhenti mendanai proyek PLTU Jawa 9 & 10 sesuai kebijakan mereka yang menyatakan akan keluar dari pendanaan batubara.

Andri Prasetiyo, Peneliti Trend Asia mengatakan bahwa proyek PLTU Jawa 9 & 10 memang
layak mendapatkan sorotan tajam sebab akan membawa dampak serius terhadap sisi sosial
dan lingkungan.

Keberadaan surat tersebut juga menunjukkan bahwa kepedulian atas
persoalan ini semakin besar, meluas dan tidak lagi berbatas wilayah.

“Masyarakat dari berbagai penjuru dunia saat ini bahu-membahu menekan proyek energi kotor
yang berbahaya bagi lingkungan dan akan semakin memperparah krisis iklim, termasuk dengan
menghentikan arus pendanaannya. Kebijakan pembangunan harus diawasi secara serius, agar
lebih mengedepankan kelestarian lingkungan, bukan berorientasi pada keuntungan semu dan
keuntungan bagi sebagian pihak,” ujar Andri.

Studi pra-kelayakan proyek PLTU Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten oleh Korea Development
Institute telah menyatakan bahwa pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 dilabeli sebagai proyek
tidak layak. Produksi listrik PLTU Jawa 9 & 10 tidak akan terserap sebab kondisi neraca energi
nasional telah kelebihan pasokan. Selain itu, ke depan biaya operasional dari energi kotor
batubara akan semakin mahal dan tidak kompetitif dengan energi terbarukan.

Proyek ini akan membebani keuangan pemerintah Indonesia karena diproyeksikan membawa
kerugian hingga Rp610,12 miliar. Nilai investasi yang harus dibayarkan pemerintah dalam
proyek PLTU ini jauh lebih besar dari proyeksi pendapatan sampai dengan PLTU ini selesai beroperasi.

Tidak hanya itu, Cilegon, Banten sebagai lokasi PLTU Suralaya Jawa 9 & 10 juga berada dalam
kondisi darurat polusi udara. Buruknya kualitas udara di Suralaya menyebabkan tingginya
tingkat penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Cilegon.

Data Dinas
Kesehatan Kota Cilegon menyebut, sejak tahun 2018 sampai dengan Mei 2020 terdapat
118.184 kasus ISPA di kota Cilegon.
Pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 menuai kecaman publik dan penolakan warga.

Dalam petisi
yang dilakukan melalui Change.org, tercatat lebih dari 17.000 warga menandatanganinya
(23/8/2021). Warga Suralaya, yang hidup bertahun-tahun di kawasan PLTU, turut serta dalam
aksi untuk menolak penghapusan FABA dari kategori limbah B3, sebab aturan turunan UU
Cipta Kerja ini semakin menghimpit ruang hidup mereka yang selama ini sudah terkepung
polusi.

Menurut Mad Haer, Direktur Pena Masyarakat Banten, ancaman nyata sudah di depan mata,
dengan banyaknya PLTU di Banten sudah seperti mesin pembunuh yang akan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar.

“Hari ini masyarakat butuh energi yang baik
agar kehidupannya tidak terganggu oleh limbah dan polusi yang mengancam kehidupan
masyarakat,” kata Mad Haer.(LLJ).