Kekurangan Ditambah Dilupakan Menjadi “Kehilangan” (oleh : Firman Venayaksa*)

0
374

Serang,fesbukbantennews.com (16/2/2021) – Secara matematis, logika -+-=- (minus tambah minus sama dengan minus). Maka ilmu matematika disebut juga ilmu pasti. Siapapun yang pernah belajar Matematika, mudah menjawabnya. Pertanyaannya, bagaimana jika kemudian kedua seniman visual bernama Edi Bonetski dan Sebastian Advent bersekongkol untuk tidak menjawabnya dan menyerahkan rumpang yang mudah kita jawab itu dengan -+-= (Minus tambah Minus sama dengan). Tak ada jawaban. Mudah tapi tak dijawab! Mengapa mereka membuat tema ini yang dijadikan sebagai titik tolak pameran seni rupa yang diadakan di Kafe Uma Kite, Serang 12-18 Februari 2021.

seniman visual bernama Edi Bonetski dan Sebastian Advent tampil di Umakite.

Di dalam dunia visual, setidaknya di Banten, saya mengenal Edi Bonetski lumayan lama. Potensi artistik yang dibangun adalah melepaskan diri dari kungkungan medium. Ia bisa memvisualisaikan apa yang ada dalam pikirannya. Ia menolak untuk berhenti pada satu titik peristiwa dan cuaca. Keberaniannya untuk bermain-main dengan warna, garis-garis dan spektrum ide, memungkinkan dirinya untuk mengatakan banyak hal dengan tidak mengatakan apa-apa.

Dunia eksistensialisme menebas penjara-penjara pikiran yang ortodoks. Ia menjadi orang yang sangat peduli dengan ketakpeduliannya. Ia santai saja menjadikan tipe-ex dan rugos sebagai tols untuk memformat gagasannya yang dalam banyak hal ditolak dan dianggap “kekurangan” secara estetis (minus) oleh para perupa umumnya. Baginya, sampah sekalipun bisa menjadi alat untuk penyadaran akan ketidaksadaran banyak orang. Itulah yang terlihat pada pameran di Uma Kite yang digawangi Andi Suhud dan Rambo Banten.

Sementara, Sebastian Advent adalah mantan mahasiswa yang kadang di luar konvensi. Sebagai dosen yang pernah memegang mata kuliah Jurnalisme Sastrawi, saya sering terkejut ketika tiba-tiba saja ia menginterupsi pikiran saya dengan memamerkan kamera analog tahun jebot ketika teman-teman seangkatannya berbahagia dengan kamera digital.

Dunianya sedari awal memang tertarik dengan nafas masa lampau. Dan hal itu terlihat dari karyanya dengan melambatkan peristiwa instan kita pada proses fotografi di masa lampau. Ia juga mencoba untuk mengangkat kembali derajat “stensilan” yang secara ajaib ketika mendengar istilah itu, yang terbayang adalah cerita novel Enny Arrow yang digandrungi para pelajar di Zaman Orde Baru.

Di zaman itu, membaca stensilan adalah sebuah ritus perlawanan budaya anak muda pada kebudayaan dominan.
Pada momen kali ini, ia benar-benar menuntaskan kemasalampuannya itu dengan mengerek bendera Andi Warhol “Di masa depan, semua orang akan terkenal selama 15 menit.”

Maka ketika para pengunjung memamerkan hasil karya mereka dan berselfi ria lantas dinaikkan di facebook, instagram atau twitter, disanalah Sebastian Advent membuktikan bahwa apa yang menjadi tesis Andi Warhol nyata adanya. Orang hanya mengenang si pengunjung pameran itu bahkan tidak sampai 15 menit; lalu digantikan oleh pelbagai status dan foto lainnya yang muncul sedemikian cepat. “Hey, aku datang loh ke pameran Edi Bonetski dan Sebastian Advent,” selanjutnya kau “dilupakan” orang (minus).

Edi Bonetski dianggap “kekurangan” dan Sebastian Advent memunculkan tesis “dilupakan” maka “kekurangan” ditambah “dilupakan” adalah kehilangan. Ketika melihat visual Edi Bonetski maupun Sebastian Advent sebetulnya pengunjung diajak mengembara pada makna-makna kehilangan.

Sebagai contoh, siapa yang hari ini memakai tipe-ex dan rugos yang di masa lampau menjadi tren yang populis? Di mana posisi kedua benda itu? Tidak lagi ada tempat. Minus. Begitupun ruang stensil dan proses anasir fotografi yang diperagakan Sebastian Advent. Nyaris taklagi ada. Minus.

Disitulah keberhasil kedua seniman visual menerjemahkan kegelisahan era kini tanpa harus menggurui. Para pengunjung tetap bahagia akan ketakmengertiannya. Seperti era pandemi yang kini melanda. Untuk memastikan bahwa Covid 19 tidak cepat masuk pada tubuh, maka imun harus tinggi dan kebahagiaan yang menjadi tamengnya; walaupun kita tidak pernah tahu untuk apa kita bahagia.

Kembali pada urusan tema yang diusung oleh kedua seniman visual ini, maka negatif ditambah negatif sama dengan negatif. Disinilah justru konsistensinya; karena jika mengambil tema sebaliknya yaitu positif dikurangi positif; maka konsistensi akan sangat bergantung pada besaran jumlah. Ia menjadi relatif hasilnya. Bisa positif, bisa negatif.

Ruang imaji inilah yang sepertinya ingin ditawarkan kepada kita. Kerelatifan memang sunatullah, tetapi konsistensi menjadi barang yang sangat mahal di erap pandemi ini. Jika tidak, maka kita akan banyak kehilangan (lagi) tetangga, teman sejawat dan orang-orang terkasih di sekeliling kita.

Tanah Air, 2021.(ast/LLJ).

*Firman Venayaksa
(Dosen Untirta, Pengamat Kebudayaan Populer)