Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana

0
729

Serang, fesbukbantennews. com (24/6/2020) – Dalam hukum pidana, bagaimana membedakan kesengajaan dan yang tidak sengaja? Apakah tidak sengaja berarti lalai?.

ilustrasi.(hukumonline).

Dikutip dari laman hukumonline.com dengan nara sumber Sigar Aji Poerana, S.H, inilah lengkapnya;

Pertanyaan

Dalam hukum pidana, bagaimana membedakan kesengajaan dan yang tidak sengaja? Apakah tidak sengaja berarti lalai? Terima kasih.

Kesengajaan (Opzet)

Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia menerangkan bahwa sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan culpa (hal. 65).
 

Hal ini dikarenakan, biasanya, yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja (hal. 65 – 66).

Menurutnya, kesengajaan terbagi menjadi tiga jenis.

Kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk)
Dalam kesengajaan yang bersifat tujuan, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman pidana (hal. 67).

Kesengajaan bentuk ini menimbulkan dua teori, yaitu teori kehendak dan teori bayangan.

Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku.

Sementara, teori bayangan menganggap kesengajaan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai.

Maka dari itu, ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu (hal. 67).

Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 593/Pid.B/2014/PN.TBT, Majelis Hakim menyatakan Terdakwa, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang” dan menjatuhkan pidana penjara selama delapan bulan (hal. 12).

Unsur kesengajaan dalam perkara ini terbukti berdasarkan fakta bahwa Terdakwa bersama teman-temannya mendatangi kafe tempat saksi korban berada. Saksi korban kemudian menutup pintu, namun Terdakwa dan teman-temannya menendang pintu hingga terbuka (hal. 10).

Terdakwa dan teman-temannya lalu melakukan penganiayaan terhadap saksi korban. Diketahui bahwa maksud Terdakwa dan teman-temannya adalah karena salah seorang temannya ingin menemui saksi korban, karena merasa cemburu (hal. 10).

Majelis Hakim menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut telah nyata Terdakwa dan teman-temannya telah mempunyai tujuan untuk menyakiti saksi korban (hal. 10).

Hal ini terlihat dari tindakan Terdakwa dan teman-temannya yang menendang pintu agar terbuka, karena saksi korban menutup pintu dan tidak ingin bertemu (hal. 10).

Kesengajaan secara keinsafan kepastian(opzet bij zekerheids-bewustzijn)

Menurut Wirjono dalam Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu (hal. 67 – 68).

Contoh, dalam Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 158/Pid.B/2014/PN.Grt., Majelis Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan” dan menjatuhkan pidana penjara selama tiga bulan (hal. 12).

Dalam pertimbangannya, diterangkan bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan karena Terdakwa terbawa emosi, karena merasa dibohongi oleh saksi korban.

Terdakwa tidak mampu mengendalikan emosinya dan mengakibatkan terjadinya peristiwa pemukulan (hal. 9-10).

Terdakwa menyadari bahwa pemukulan yang dilakukan terhadap saksi korban dapat menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau setidak-tidaknya dapat merugikan kesehatan orang lain.

Oleh karena itu, opzet perbuatan Terdakwa termasuk dalam bentuk opzet bij zekerheids-bewustzijn, yaitu kesengajaan secara keinsafan kepastian (hal. 10).

Kesengajaan keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn)

Menurut Wirjono dalam Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, kesengajaan ini dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju.

Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan itu tetap akan dilakukan oleh si pelaku (hal. 69–70).

Kalau hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kalau perlu akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibatnya tetap terjadi (hal. 70).

Kelalaian (Culpa)

Di sisi lain, ilmu hukum pidana mengenal istilah culpa.

Menurut Wirjono dalam Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”. Tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan, namun karena kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (hal. 72).

Terkait kelalaian, Andi Hamzah yang mengutip J. Remmelink dalam buku Hukum Pidana Indonesiamenerangkan bahwa siapa karena salahnya melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang seharusnya dipergunakan (hal. 123).

Menurut Van Hamel sebagaimana dikutip Andi Hamzah dalam buku yang sama, kelalaian dibagi atas dua jenis, yaitu ‘kurang melihat ke depan yang perlu’ dan ‘kurang hati-hati yang perlu’ (hal. 123).

Yang pertama terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang terjadi. Yang kedua, misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada) (hal. 124).

Wirjono dalam buku yang sama menyamakan kelalaian dengan culpa (hal. 74).

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 251/Pid.Sus/2018/PN Kag, Majelis Hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya mengakibatkan korban meninggal dunia”, dan menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun (hal. 9 – 10).

Dalam pertimbangan, Majelis Hakim mengutip Van Hamel yang menyatakan bahwa culpamengandung dua syarat, yaitu tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum (hal. 7).

Mengenai tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan tersebut kemudian ternyata tidak benar dan terdakwa tidak sama sekali mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilanggar mungkin timbul karena perbuatannya (hal. 7).

Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur kelalaian ini terbukti berdasarkan fakta persidangan bahwa Terdakwa membonceng dua orang dan mengendarai motor dengan kecepatan kira-kira 70km/jam.

Terdakwa tidak mengurangi kecepatan ketika mengambil jalur sebelah kanan, karena kondisi jalan berlubang/retak dan menurun ke sisi samping kiri jalan raya (hal. 8).

Dari arah berlawanan, ada pengendara motor, namun Terdakwa tidak memerhatikannya. Terjadi kecelakaan yang mengakibatkan pengendara motor itu dan satu teman Terdakwa meninggal di tempat (hal. 8).

Majelis Hakim berpendapat jelaslah tergambar bahwa Terdakwa tidak menduga-duga dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum ataupun berpikir bahwa perbuatannya akan menimbulkan kecelakaan mengakibatkan korban meninggal (hal. 8).

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 158/Pid.B/2014/PN.Grt.;

Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 593/Pid.B/2014/PN.TBT;

Putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 251/Pid.Sus/2018/PN Kag.

Referensi:

Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2017;

Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2003.(LLJ).

Sumber: hukumonline.com.