Kesultanan : Dzuriyat Mengada-ngada dan Takut Keropak di Banten Lama Dihilangkan

0
229

Serang,fesbukbantennews.com (12/7/2019) – Terkait pernyataan Forum Dzuriyat Kesultanan Banten (FDKB) yang menyebutkan hasil keputusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor 107 K/Ah/2019, memutuskan menghapus status Ratu Bambang Wisanggeni (BW) sebagai Sultan Banten yang ke-18, Tim Advokasi Kesultanan Banten angkat suara.

Kutipan putusan MA.

Muhtar Latif, Tim Advokasi Kesultanan Banten mengatakan, bahwa pernyataan tersebut mengada-ada. Hanya ketakutan pihak Dzuriyat jika keropak /kotak Amal di kawasan Banten lama dihilangkan.

Pemahaman putusan MA bahwa gelar Sultan Banten dicabut dalah pemahaman yang salah besar. Pemahaman tersebut sebenarnya merupakan ungkapan kekhawatiran kalau karopak atau priuk nasi yang berkaitan dengan penziarahan banten lama hilang.

“itu saja intinya, dari awal juga jik alasannya lari kemana-kemana terkait banten lama, ya biasa lah, namanya juga digoreng, masa mau jujur mempertahankan keropak,malu dong, coba aja berani tidak keropak dihilangkan, seperti yang pernah kami usulkan pada saat terjadi sengketa di pengadilan agama,, kan ga berani malah kemana-mana alasannya,” kata Muhtar, Jumat (12/7/2019).

Lebih jauh Muhtar mengatakan, tim advokasi mengeluarkan pernyataan resmi terkait rilis yang dikeluarkan FDKB.

Bahwa terkait Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Ag/2019 tanggal 12 Februari 2019, Dapat kami garis bawahi sebahai berikut :

1. Putusan Mahkamah Agung diatas harus dibaca secara utuh sehingga bisa didapati makna yang sesungguhnya secara substansi dan folosofi dari maksud putusan tersebut.

2. Dalam pertimbangan hukum putusan MA no 107 tersebut, semua putusan mulai dari tingkat pertama, putusan no 786/pdt.g/2017/pa.srg dan putusan tingkat ke dua atau Tingkat PT, No 17/pdt.g/2018/pta.btn, termasuk penetapan no 316/pdt.p/2016/pa.srg yang sedang dusengketakan, dibatalkan, namun dapat digaris bawahi, keluarnya putusan dimaksud HANYA BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbngan hukum MA dalam putusan tersebut, sehingga substansi dan filosifi hukumnya yaitu MA telah menempatkan marwah kesultanan yang sesungguhnya yaitu mengembalikan kepada masyarakat banten. untuk itu, ada atau tidaknya perkara atau putusan ini, tidak berpengaruh terhadap legalitas sultan banten sebagai sultan banten ke 18.

3. Selain itu putusan MA juga putusan yg sifatnya non eksekutable (tidak ada eksekusinya) dan tidak nebis in idem (tidak ada larangan untuk sultan boleh mengajukan penatapan lagi kapanpun jikalau mau. Karena penetapan sifatnya normatif saja.

4. Sekali lagi dapat kami tegaskan, ada atau tidaknya putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Ag/2019 tanggal 12 Februari 2019, tidak mempengruhi eksistensi sultan banten ke 18, Karena putusan dimaksud hanya bagian kecil normatif saja, dan tidak ada eksekusinya (non eksekutable). Untuk itu Perjuangan Kesultanan Banten sebagai entitas budaya, Insya Allah akan semakin kuat kami lakukan demi mengangkat marwah Banten khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Terpisah, Sultan Banten ke-18, Sultan Syarif Muhammad Ash-Shafiuddin atau Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja mengaku tidak takut dengan keluarnya hasil keputusan Mahkamah Agung (MA) sebab dirinya mengaku sebagai pewaris sah keturunan Kesultanan Banten.

“Bagi saya biasa saja, karena saya ini adalah sebagai pewaris sah dan bisa meneruskan Kesultanan Banten,” ungkapnya.

Menurutnya, putusan Mahkamah Agung harus dibaca secara utuh sehingga bisa didapati makna yang sesungguhnya secara substansi dan filosofi dari maksud putusan tersebut. MA maupun pengadilan, bukan ranahnya untuk memberhentikan Sultan.

“Jadi sekali lagi bukan ranah mereka jangan seolah-olah dihapus, bukan begitu sebetulnya. Artinya mereka tidak ikut campur di urusan nasab ini, karena dukungan dari ulama, kasepuhan memang saya ini lah penerusnya. Enggak masalah bagi kita. Nasabnya jelas dan saya akan meneruskan kesultanan Banten,” tegasnya.

Selain itu, dikatakan Sultan Banten, putusan MA juga putusan yang sifatnya non eksekutable (tidak ada eksekusinya) dan tidak nebis in idem (tidak ada larangan) untuk sultan boleh mengajukan penatapan lagi kapanpun jikalau mau. Karena  penetapan sifatnya normatif saja.

“Sekali lagi dapat kami tegaskan, ada atau tidaknya putusan Mahkamah Agung, tidak mempengruhi eksistensi sultan banten ke 18, Karena putusan dimaksud hanya bagian kecil normatif saja, dan tidak ada eksekusinya (non eksekutable),” katanya.

Untuk itu perjuangan Kesultanan Banten sebagai entitas budaya akan semakin kuat dilakukan demi mengangkat marwah Banten khususnya dan Indonesia pada umumnya. Sultan Banten juga mengaku, pidana tidak membuatnya takut, karena dirinya tak bersalah.

“Salah saya dimana, orang menyebut saya Sultan, sah saja kan. Mereka takut merebut pengelolaan makam maupun Kesultanan Banten. Tidak pengaruh buat saya, karena saya ini sebagai ahli waris sah. Bukan keinginan saya jadi sultan, tetapi sudah jelas nasabnya keatas garis lurus,” tandasnya. (LLJ).