Membangun Negeri dengan Sinergi dan Totalitas (oleh:Rochman Setiawan* )

0
190

“Merdeka atau Mati!” begitulah kalimat yang dilontarkan Bung Tomo untuk menyemangati para pejuang Indonesia di Surabaya melawan para penjajah dari Eropa khususnya Inggris, pada 10 Nopember 1945 lalu. Kalimat itu meski hanya terdiri dari tiga kata namun begitu magis hingga bisa membangkitkan optimisme seluruh warga Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan mereka yang hendak dirampas oleh Inggris.

Rochman Setiawan.

Bila kita amati dengan seksama, pilihan kata “Merdeka atau Mati” memiliki makna khusus. Merdeka atau mati artinya sebuah totalitas, 100%. Perjuangan itu memang tidak bisa 99% apalagi hanya 50%. Karena perjuangan itu tujuannya jelas, putih atau hitam, bukan abu-abu. Artinya, perjuangan harus dilakukan sepenuh hati hingga titik darah penghabisan seperti halnya kalimat ‘’Hidup Mulia atau Mati Syahid’’ yang sering dikumandangkan para pejuang di Tanah Suci Palestina dalam menghadapi tentara zionis Israel yang sedang menjajah tanah air mereka.

Lalu, bagaimana kita para generasi muda menafsirkan dan merealisasikan semangat perjuangan para pahlawan terdahulu, di zaman seperti sekarang ini. Di usianya yang hampir tiga per empat abad ini, Indonesia sejatinya masih memerlukan semangat juang Bung Tomo. Apalagi, negeri ini semakin lama semakin menunjukkan ketergantungannya terhadap pihak asing yang artinya boleh jadi negeri ini baru merdeka secara de jure namun belum sepenuhnya merdeka secara de facto. Ketergantungan itu di antaranya dari sisi ekonomi, politik dan militer.

Campur tangan asing masih begitu kuat di negeri yang mestinya menjadi mercusuar dunia ini. Sejumlah institusi keuangan asing raksasa disinyalir masih mengintervensi sejumlah kebijakan di negeri ini. Hal itu di antaranya karena negeri yang sebenarnya kaya akan potensi ini banyak berutang kepada institusi-institusi tersebut. Bahkan, sejumlah negara super power pun dikabarkan ikut terlibat dalam mengatur ritme ekonomi dan arah politik di negeri ini. Hal itu karena negeri ini masih memiliki ketergantungan ekonomi kepada sejumlah negara asing itu.

Tentu saja bekerjasama dengan institusi atau pun negara asing tidak selalu bersifat negatif. Namun, para pemimpin di negeri ini mestinya bisa bersikap lebih bijaksana dengan memikirkan efek jangka pajang dari setiap pinjaman berbunga tersebut, baik itu dari sisi politik maupun dari sisi ekonomi jangka panjang. Ekonomi dan politik memang dua hal yang saling berkaitan. Semakin tinggi ketergantungan ekonomi sebuah negara terhadap institusi atau negara lain maka semakin tinggi pula ketergantungan negara tersebut secara politik.

Utang Indonesia hingga Juli 2018, seperti dikutip laman resmi kumparan.com (diakses pada 08.11.2018), mencapai Rp4.253,02 triliun atau hampir dua kali lipat dari jumlah utang Indonesia pada 2014 yang berjumlah Rp2.608,8 triliun. Jumlah tersebut bahkan bisa terus membengkak jika pemerintah tidak mengambil langkah terobosan misalnya seperti apa yang telah dilakukan pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan di Turki dan Vladimir Putin di Rusia. Turki maupun Rusia, sejak dipimpin oleh Erdogan dan Putin secara berangsur mengurangi ketergantungan mereka terhadap bantuan pinjaman asing, terutama yang bersumber dari sejumlah institusi keuangan global. Dan kini terbukti dua negara tersebut secara bertahap mulai menjelma menjadi dua kekuatan global yang tidak bisa didikte negara-negara lain.

Secara militer, Indonesia pun boleh dibilang sangat ketergantungan dengan kekuatan asing. Sebagian besar peralatan militer tingkat tinggi yang dimiliki negeri ini masih dipasok oleh negara-negara asing. Ketergantungan ini, seperti halnya ketergantungan ekonomi, berdampak pada arah kebijakan politik Indonesia yang masih dapat disetir oleh bangsa asing.

Mestinya, Indonesia bisa belajar banyak dari Turki yang sejak dipimpin Erdogan, secara berangsur militernya terus mengurangi ketergantungan dari kekuatan asing. Bahkan tak hanya berhasil memproduksi sejumlah peralatan militer canggih mereka secara mandiri, Turki pun kini mulai menjadi salah satu negara importir sejumlah peralatan tempur seperti tank, pesawat tanpa awak, dsb. Walhasil, Turki pun kini relatif lebih merdeka dalam kebijakan politiknya.

Permasalahan-permasalahan di atas, sepintas terlalu jauh dari jangkauan para generasi muda saat ini. Namun sejatinya, itu semua adalah beberapa contoh permasalahan yang akan dihadapi para pemimpin masa depan di negeri ini, yang tidak lain adalah para pemuda saat ini. Artinya, para pemuda harus mulai melek dengan fakta di lapangan, apakah itu di ranah politik, ekonomi, bahkan militer. Karena masalah-masalah itu berdampak pada kebijakan politik negeri ini yang kemudian berefek domino terhadap permasalahan lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Kemudian, selain melek terhadap permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi negeri ini, para generasi muda pun harus mulai bekerja keras atau bekerja dengan totalitas untuk meningkatkan kompetensinya sesuai dengan bidangnya masing-masing, hingga pada saatnya nanti mereka siap mengambil alih estafet kepemimpinan. Pembenahan kualitas sumber daya manusia ini ini bahkan bisa jadi salah satu poin paling urgent dalam mengisi kemerdekaan bangsa ini. Karena maju mundurnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas manusianya. Oleh sebab itu, tidak aneh jika kebijakan pertama yang diambil oleh pemerintah Jepang usai luluh lantak oleh bom atom saat Perang Dunia II adalah dengan mengirim para pemudanya ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Jepang sangat menyadari, negeri mereka tidak akan mampu berdiri mandiri apalagi bersaing dengan bangsa lain jika pemimpin di masa depannya tidak memiliki kualitas yang mumpuni. Langkah itu pun terbukti ampuh. Kini Jepang menjadi salah satu motor utama asia, salah satu kekuatan ekonomi global dan menjadi salah satu negara dengan tingkat kesejahteraan penduduknya yang tinggi.

Di masa mendatang, Bangsa Indonesia tentunya harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Bangsa Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi bangsa besar. Selain potensi yang bersifat sumber daya alam, potensi itu terutama ada pada para generasi mudanya. Para pemuda yang masih memiliki idealisme tinggi harus memunculkan kembali semangat juang para pahlawan kita di masa lalu. Perjuangan kali ini bukan lagi dengan mengangkat bambu runcing, bukan pula dengan berdebat kusir tanpa solusi. Perjuangan kali ini adalah dengan meningkatkan kualitas diri secara maksimal, dengan kata lain, membenahi kualitas diri secara total.

Sebagai konklusi, totalitas dalam pengembangan kualitas diri para pemuda dan kepekaan mereka terhadap permasalahan negara merupakan dua aspek penting dalam mengisi kemerdekaan ini. Namun, itu semua bisa menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh sistem yang ada di negara ini. Artinya, perlu kerjasama yang kuat antara generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan dengan pemerintahan yang ada saat ini. Karena pemerintahan yang sekaranglah yang memegang kendali sistem di negara ini. Sistem yang nantinya turut berperan dalam melapangkan jalan bagi para generasi muda untuk terus mengembangkan diri, terlibat secara lebih aktif dalam membangun Indonesia, hingga pada saatnya nanti mengambil alih kepemimpinan negeri yang sedang merindukan masa kejayaannya ini. Mudah-mudahan, peringatan Hari Pahlawan yang sedang kita lakukan bersama di bulan Nopember ini bisa menjadi momentum baru bagi seluruh elemen di negeri ini untuk bersinergi mengerahkan segenap kemampuan mereka secara total untuk membangun Negeri Indonesia yang kita cintai ini.(LLJ).

*Rochman Setiawan , Relawan Warga Lebak