Menakar Politik Dinasti (Oleh : Nakisul Ulum*)

0
198

Serang,fesbukbantennews.com (10/11/2017) – Istilah dinasti biasanya merujuk pada sistem kekuasaan yang mengandalkan dari sekelompok orang atau keluarga. Fenomena ini sudah lama terjadi dan ada di beberapa daerah khususnya di Provinsi Banten.

Nakisul Ulum (ist)

Tahun 2018 sebagai momentum perhelatan politik Kota Serang, dimana nasib baik dan buruknya Kota Serang dalam lima tahun kedepan akan dipertaruhkan pada tahun ini. Para bakal calon sudah ramai menampilkan diri diberbagai media publikasi dan mereka pun sudah memiliki jargon masing-masing. Seperti, Kota Serang maju, Kota Serang bermartabat, Kota Serang cantik dan lain sebagainya.

Ternyata di Pilkada Kota Serang, lagi-lagi dinasti masih punya kekuatan politik yang sangat besar. Vera, istri dari Walikota Serang, sudah menyatakan diri siap untuk maju pada kontes Pilkada kali ini. Beberapa bulan kamarin hasil dari rilis Survei Fisip Untirta, lembaga Media Survei Indonesia (MSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Vera mampu menduduki peringkat angka popularitas tertinggi. Magnet dinasti memang masih kuat di Banten. Bahkan muncul paradigma baru, siapa saja kandidat yang berpasangan dengan dinasti diyakini bisa menang.

Realitas politik menunjukan betapa dinasti masih begitu digdaya, sebagai istri dari Walikota, rasanya Vera tidak cukup sulit untuk maju di Pilkada. Modal popularitas yang sudah dikantonginya ditambah dengan jaringan akar rumput yang sudah dibangun oleh suaminya.

Dijebloskanya Ratu Atut Chosiyah dan Wawan ke dalam penjara karena kasus korupsi, tidak terbukti banyak membuat dinasti Atut terpuruk. Isu dinasti Atut runtuh bisa ditampik dengan terpilihnya Andika sebagai Wakil Gubernur Banten yang juga anak dari Ratu Atut. Sungguh luar biasa, dinasti masih tegak lurus di Banten. Sampai ada guyon masyarakat, “Banten lebih pas disebut sebagai sebuah kerajaan daripada Provinsi”.
Kenyataannya sistem demokrasi kita ialah, masyarakat didesak untuk memilih yang pada awalnya calon telah lebih dulu ditentukan oleh partai politik. Seolah kita dipaksa patuh terhadap pilihan partai politik yang terlanjur terikat kontrak politik dengan partai politik.

Hal diatas memang tidak bisa dipungkiri bahwa secara legal formal tidak ada yang salah, meraka sama-sama mengikuti aturan main yang ada dan hak pilih mereka ialah bagian dari hak konstitusional. Terlebih secara subtansif mereka memang terpilih berdasarkan kompetisi dan dipilih oleh masyarakat.

Akan tetapi masalahnya adalah, menurut Zulkieflimansyah dalam Achmad Shocheb (2016), setidaknya ada tiga dampak negatif dari praktik politik dinasti. Pertama, politik dinasti akan menghambat fungsi ideal partai poitik. Calon yang dilipih bukan calon yang telah terseleksi dan melalui proses kaderisasi, melainkan hanya berdasarkan popularitas dan kekerabatan dengan petahana.
Kedua, tertutupnya kesempatan bagi masyarakat yang memiliki kapasitas dan keunggulan untuk tampil sebagai pemimpin karena bukan berasal dari lingkaran elite kekuasaan. Jika hal ini terjadi, akan muncul potensi terjadinya negosiasi dan konspirasi kepentingan dalam pelaksanaan tugas pemerintah.
Ketiga, sulitnya mencapai clean and good governance karena fungsi kontrol melemah dan semakin tingginya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Politik dinasti, dapat membuat orang yang tidak berkompeten menduduki suatu jabatan, dan juga sebaliknya, menghalangi seseorang yang berkompeten untuk tampil menjadi abdi masyarakat.

Membaca pendapat tersebut, berarti selain dari tiga hal diatas, tentu bisa merambah kepada hal lain, yaitu kesejahteraan masyarakat. Jika melihat Kota Serang, sebagai ibu Kota Banten. Hati kita mengatakan, Serang belum ada kemajuan yang signifikan, lebih-lebih dibandingakan dengan kota-kota lain yang berdekatan dengan Jakarta. Barangkali pernah terlintas dalam benak kita, jangan-jangan keterbelakangan sengaja diciptakan untuk melangengkan kekuasaan.

Implikasi yang paling menonjol dari politik dinasti yakni terputusnya regenerasi dalam kepemimpinan di sebabkan Penguasaan kekuasaan hanya berputar pada dinasti. Sehingga akhirnya banyak generasi yang hilang kesempatan dalam menunjukkan kemampuan terbaiknya kepada bangsa dan Negara. Karena itu, distribusi kekuasaan mutlak untuk dilaksanakan, agar dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.

Sementara Yan Djoko Pietono (2013) menegaskan, “Bahaya dari politik dinasti adalah Pengekalan dan pelembagaan politik. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, porgram dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan”.

Argumentasi seperti ini memang terdengar ekstrim, tetapi jika argumen itu dijadikan sebagi warning (peringatan) tentu tidak jadi suatu persoalan, supaya masyarakat lebih waspada dalam menyikapi berbagai hal terutama terkait dengan pemilu.

Dalam situasi Politik semacam ini, masyarakat diharapkan bisa bersikap bijak, memilih pemimpin dengan melihat kompetensi, kapabilitas serta punya tanggung jawab atas janji-janji politik. Sebab sejatinya pemimpin dipilih oleh rakyat tidak untuk menperkaya diri, konstituen ataupun partai, melainkan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Tantangan serius ke depan pastinya bukan saja tentang dinasti politik, tetapi bagaimana melakukan terobosan atau formula baru untuk melahirkan pemipmin yang berintegritas untuk mengatasi segala masalah yang ada di Kota Serang misalnya, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan masih banyak yang lainya. (LLJ)
*Penulis : Nakisul Ulum, Sekjen BEM Serang 2016-2017