Yuk mengenal EKONOMI MIGAS ( Oleh : Tb Khirul Hakim* )

0
180

Serang,fesbukbantennews.com (16/10/2017) – Jika berpikir tentang sumber daya alam minyak dan gas, pasti kita akan terarah pada konsep energi yang tidak bisa diperbaharui dan berasal dari alam serta bersifat terbatas jumlahnya. Komoditas migas ini sangat tinggi nilai jualnya dipasaran dunia, maka dengan itu tidak heran dewasa ini para investor berlomba-lomba mendapatkan kontrak dengan negara pemilik sumur migas yang bisa dieksplorasi jumlah cadangannya, bisa menghasilkan economic rent bagi pemerintah sebagai pemilik kedaulatan energinya dan investor sebagai pihak kontraktor yang menginginkan profit share yang baik pula.

Tubagus Khoirul Hakim.(ist)

Hubungan antar stake holder yang berkepentingan dalam dunia bisnis migas ini jika dilihat dari sejarahnya sudah berlangsung sejak abad ke 18 benny lubiantara ( 2012), tetapi sistem pada masa itu masih cenderung menggunakan mekanisme yang kurang menguntungkan pihak negara sebagai pemilik sumber daya alam, karena sistem konsensi yang berlaku hanya kedepankan keuntungan yang besar bagi investor. setelah masa itu pada abad ke 20 lebih tepatnya tahun 1948 venezuela memperkenalkan aturan kontrak kesepakatan yang lebih populer dengan sebutan 50/50 profit sharing dimana bagian penerimaan negara dari royalti dan pajak lainnya paling tidak, sama dengan laba perusahaan minyak fransisco para (2010). Sistem ini memperlihatkan bahwa negara mengetahui potensi yang sangat besar bagi kontribusi anggaran negara yang berdampak pada majunya laju pertumbuhan berbagai aspek pembangunan.

Semangat negara untuk mampu menguasai penuh kepemilikan sumber daya alam migas ditandai dengan lahirnya sistem production sharing contract ( psc ). Pada mekanisme jenis ini kepemilikan dan pengawasan ada di tangan pemerintah, dan perusahaan diturunkan menjadi kontraktor yang menanggung resiko dan memperoleh pemulihan biaya setelah tahap komersil tercapai. Tidak hanya sistem yang lahir untuk menyempurnakan negara sebagai tuan rumah pemilik sumber daya migas, tetapi organisasi seperti OPEC hadir tahun 1960 tidak terlepas karena negara ingin mempunyai andil besar dalam pengelolaan komoditas minyak yang sangat menjanjikan.

Jika meninjau kembali resolusi yang dikeluarkan oleh majelis umum PBB pada tahun 1952 dan 1966 tentang kedaulatan atas sumber daya alam, maka kita mengetahui bahwa masing-masing negara memiliki kemerdekaan dalam urusan operasi, produksi, manajemen dan pemasaran sumber daya migas dan mengubur sistem tradisional seperti konsensi.

Pemicu lain yang menyebabkan keinginan besar negara untuk menguasai penuh sumber dayanya terjadi ketika momentum konfrensi OPEC ke 24 tahun 1971, memutuskan untuk segera mengambil langkah dalam rangka implementasi prinsip partisipasi dalam konsensi ladang minyak, setelah konferensi tersebut berlalu tepatnya pada tanggal 5 oktober 1972 di new york dilakukan penandatangannan kesepakatan umum mengenai partisipasi anatar OPEC dan IOC ( international oil company ).

Dengan adanya MOU ini maka negara-negara pemilik sumber daya migas tahun-tahun berikutnya melakukan hal yang lebih dibanding partisipasi mereka banyak melakukan nasionalisai aset berharga migas mereka seperti: Kuwait dengan (KOC 1975), Qatar ( QP 1975), arab saudi ( aramco 1980), Duval (2009).

Bisnis dibidang migas walau sekilas terlihat sangat menggiurkan bagi segala pihak yang berkepentingan untuk mengelolanya, di sisi lain harus diketahui faktor lainnya tentang industri hulu migas ini seperti:

1. Lamanya Waktu antara saat terjadinya pengeluaran dengan pendapatan,

2. Keputusan yang dibuat berdasarkan resiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih,

3. Sektor ini memerlukan investasi biaya kapital yang relatif besar.

4. Dibalik semua resiko tersebut, industri migas juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar.

Dengan melihat resiko yang sangat besar dalam industri ini serta penggunaan teknologi yang canggih maka negara berkembang yang memiliki sumber daya migas dirasa wajib mengundang investor asing untuk aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam ini. Dan sistem yang dianut dalam perjanjian kontraknya bisa berupa PSC, Sistem konsensi dan service contract, ada pun penjelasannya berikut ini:

production sharing contract ( PSC) ialah mekanisme perjanjian yang berpusat pada pemerintah yang menunjuk perusahaan migas asing sebagai kontraktor pada suatu wilayah kerja tertentu, dan kontraktor tersebut menanggung semua resiko dan biaya eksplorasi dan apabila eksplorasi berhasil menemukan migas yang komersial, maka kontraktor berhak mendapatkan pemulihan biaya dari hasil produksi. Kontraktor juga memperoleh bagian dari produksi setelah dikurangi (cost recovery) . setelah itu semua peralatan dan instalasi menjadi milik negara.
Konsensi ialah sistem yang mengatakan bahwa semua hasil produksi dalam wilayah kerja tersebut dimiliki oleh perusahaan migas, sementara negara negara menerima pemabayaran royalti yang besarnya secara umum berupa presentase dari pendapatan bruto dan negara juga akan mendapatkan pajak. dalam mekanisme konsensi tradisional wilyah kerjanya sangat luas bahkan bisa meliputi satu negara dan kontrak eksplorasinya pun sangat panjang bahkan bisa mencapai angka 60 tahun kontrak.

Service contract berkaitan dengan kerja sama kegiatan eksplorasi, pengembangan,dan produksi migas, pada sistem ini pengembalian biaya kontraktor dilakukan dalam bentuktuani tetapi di beberapa kesepakatan bisa saja kontraktor membeli sejumlah minyak mentah hasil produksi sesuai harga di pasaran.(LLJ)
*Penulis : Tubagus khoirul Hakim, ketua SELI ( sepeda literasi ) Banten.