Gelar Aksi,Koalisi Masyarakat Sipil Banten : Revisi UU KPK Pelemahan

0
320

Serang, fesbukbantennews.com (18/9/2019) – Koalisi Masyarakat Sipil di Provinsi Banten dengan tegas menyatakan menolak rencana DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan melakukan revision sama dengan memperlemah KPK.

Aksi Tolak Revisi UU KPK Koalisi Masyarakat Sipil Banten di depan Kampus UIN SMH Banten.(LLJ).

Hal tersebut terungkap dalam aksiaksi tolak revisi UU KPK yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Banten di depan UIN SMH Banten, Kota Serang, Selasa (17/9).

“Di tengah perilaku korupsi yang makin massif di semua lini kekuasaan, sulit mengharapkan agenda pemberantasan korupsi tanpa KPK. Artinya, memperlemah KPK harus dibaca sebagai upaya mengkerdilkan kinerja pemberantasan korupsi,” kata korlap aksi Fuaduddin Bagas.

Dikatakan pria yang akrab disapa Bagas ini, rakyat Provinsi Banten sejatinya harus mengungkap rasa apresiasi atas kinerja KPK selama ini. Karena berkat sentuhan KPK, beberapa kasus tindak pidana korupsi kelas kakap berhasil diungkap.

Sebut saja misalkan kasus yang melibatkan mantan Gubernur Banten Rt Atut Chosiyah; suap pendanaan Bank Banten yang menyeret pimpinan DPRD Provinsi Banten periode 2014-2019, hingga kasus suap mantan Walikota Cilegon Tb Iman Ariyadi.

Di luar konteks demikian, kata Bagas, Koalisi Masyarakat Sipil menilai, revisi yang tengah diikhtiarkan oleh DPR dan pemerintah adalah upaya untuk memperkuat pelemahan KPK.

“Misalnya, dengan pembentukan Dewan Pengawas. Dari gagasan yang berkembang ke publik, Dewan Pengawas akan menjadi lembaga kontrol terhadap wewenang strategis KPK, terutama wewenang penyadapan. Situasi demikian jelas akan mengurangi akselerasi kinerja penyidik dalam mengungkap sebuah perkara,” bebernya.

Hal lain perihal rencana menempatkan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN). Status pegawai KPK menjadi ASN bakal menghilangkan independensi penyidik.

Sebab, lanjut Bagas, pegawai KPK bakal berada di bawah Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang tidak lain adalah pembantu langsung dari Presiden.

Berikutnya, terkait kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). DPR mengusulkan KPK memiliki jangka waktu satu tahun dalam mengusut suatu kasus sebelum akhirnya bisa menerbitkan SP3.

“Pemerintah hanya meminta waktunya diperpanjang menjadi dua tahun. Waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks, tapi hanya bisa menangani kasus kecil,” ujarnya.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, seharusnya pembenahan terhadap regulasi yang berhubungan dengan korupsi dilakukan secara berurutan. Yang diselesaikan dulu UU KUHP, kemudian UU mengenai hukum acara, baru kemudian UU Tipikor.

“Revisi UU Tipikor lebih genting dilakukan lantaran aturan yang ada saat ini belum sepenuhnya mengadaptasi perjanjian multirateral antikorupsi internasional atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Antara lain seperti korupsi di sektor privat, perdagangan pengaruh, dan memperkaya diri sendiri dengan jasa,” ujarnya.

Bahkan, kata Bagas ada rencana pemasukan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP yang lantas menurunkan deliknya menjadi kejahatan serius (seriousness crimes). Padahal, korupsi hingga saat ini tetap dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). (Riez/LLJ).