Dari TPSA RSL ke TPST Bojong Menteng , Kebohongan ke Pembodohan (oleh:A Irfan H*)

0
309

Serang,fesbukbantennews.com (8/6/2017) ; Rencana pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Akhir-Reusable Sanitary Landfill (TPSA-RSL),  di wilayah Desa Bojong Menteng Kec. Tunjung Teja ,Kabupaten Serang,yang sekarang berubah nama menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong Menteng  akan terus mendapat kecaman dari masyarakat Kec. Tunjung Teja pada umumnya dan masyarakat Desa Bojong Menteng pada khususnya.

Ilustrasi.

Entah pemikran dari otak siapa yang merubah TPSA RLS Bojong Menteng menjadi TPST Bojong Menteng, yang jelas sang pemilik otak tidak pernah memikirkan aspek yuridis dan teknis dari perubahan tersebut. Harap di pahami jika perubahan TPSA RLS Bojong Menteng menjadi TPST Bojong Menteng merupakan sebuah proses hukum dan proses administrasi birokrasi selayaknya segala bentuk perubahan itu di sosialisasikan kepada masyarakat sehingga ada keterbukaan informasi public yang memungkinkan masyarakat merespon segala bentuk kebijakan pemerintah terlepas dari respon positive maupun respon negative.

 

Sejak di keluarkannya SK Bupati Serang Nomor 954/ Kep.167-Huk/2004 yang ditetapkan oleh Bupati pada saat itu Bunyamin pada tanggal 27 Desember 2004 Tantang Penetapan Lokasi TPSA ( Tempat Pengolahan Sampah Akhir ) Bojong Menteng berbagai permasalahan muncul yang semua permasalah itu kalau kita amati lebih mendalam bermuara pada PROSES KEBOHOHONGAN DAN PEMBODOHAN terhadap masyarakat yang dilakukan oleh Eksekutif dan Legislatif yang berkuasa di Kab. Serang. Rangkaian Kebohongan dan Pembodohan tersebut terlihat nyata dalam perjalan TPST Bojong Menteng selama ini.

 

Pertama dimulai dengan Menyoal kebijakan pemerintah yang tidak menggambarkan ke-etis-an dan kebijaksanaan dalam pengambilannya, patutlah kiranya kita dalam Pembangunan TPST Bojong Menteng ini mencoba melihat kembali salah satu Produk Hukum Pemerintah Kabupaten Serang yaitu SK Bupati Serang Nomor 954/ Kep.167-Huk/2004 yang ditetapkan oleh Bupati pada saat itu Bunyamin pada tanggal 27 Desember 2004 Tantang Penetapan Lokasi TPSA ( Tempat Pengolahan Sampah Akhir ) Bojong Menteng kita akan bertanya kembali tentang ke- Legal, Formal, Moral, sekaligus kebijaksanaan dalam pengambilan kebijakan dan tingkat pemahaman yang coba dibangun oleh pemerintah yang pada level masyarakat yang menyesatkan. Menyimak dengan seksama proses lahirnya SK Bupati Serang Nomor 954/ Kep.167-Huk/2004 Tahun 2004 tersebut dan menyadari berbagai manipulasi serta penghianatan yang terjadi maka sepatutnyalah warga Bojong Menteng khususnya dan masyarakat Kec. Tunjung Teja pada umumnya yang daerahnya menjadi objek dari SK tersebut dirasa perlu untuk menyuarakan berbagai polemic yang terjadi pasca lahirnya SK tersebut mulai dari tahap sosialisasi yang tidak berbasis pemahaman masyarakat dan cenderung tidak berpihak kepada masyarakat hal ini terlihat dari munculnya berbagai konflik yang diakibatkan oleh tidak tahunya masyarakat menyangkut masalah TPST Bojong Menteng sampai kepada tahap pembebasan lahan yang cenderung merugikan masyarakat dan menjadi ladang hidup para spekulan karena tidak adanya kejelasan dari pemerintah mengenai hal tersebut dan pemerintah seakan membiarkan keresahan yang terjadi dimasyarakat.

 

Kedua, dari pross awal Rencana pembangunan TPSA RSL di wilayah Desa Bojong Menteng yang penuh dengan kebohongan public dan pembodohan terhadap masyarakat semenjak Analisis Dampak Lingkungan ( AMDAL ) yang pertama ketika itu masih mengusung brand TPSA RSL Bojong menteng di keluarkan oleh Pemkab Serang. Dimana setelah ada kajian terhadap AMDAL tersebut dinilai tidak objektif dan terkesan asal jadi atau dipaksakan. Maka ketika ada masyarakat yang mempertanyakan dan meragukan keobjektivitasan AMDAL TPSA RSL Bojong Menteng tersebut pemerintah daerah Kab. Serang tidak bisa menjelaskan lebih jauh kepada masyarakat. Belum tuntas berbagai pertanyaan dan keraguan masyarakat terhadap AMDAL yang pertama terbitlah AMDAL kedua yang sampai sekarang belum jelas isinya karena memang tidak pernah di sosialisasikan kepada masyarakatr. Perubahan AMDAL ini dikarenakan pembangunan TPST itu mengacu pada analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang lama, yang dibuat lebih dari empat tahun lalu, sehingga perlu dipertanyakan kelayakannya. Entah apa perbedaan amdal yang pertama dan yang ke dua yang jelas keduanya sama – sama barang ghaib bagi masyarakat, hanya tahu namanya tanpa tahu proses perancangan dan isinya.

 

Jika kita amati persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota / lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan – peraturan pelaksanaannya. Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA harus memenuhi Ketentuan umum Dan Kriteria tertentu.

 

Ketentuan Umum Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

 

(1).TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut.

 

(2). Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan  tahapan yaitu :

 

Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Selanjutnya Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Dan terakhir Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.

 

(3).  Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.

 

 

Sedangkan Kriteria dalam pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian,

 

(1). Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak layak yang meliputi Kondisi Geologi yang didalamnya di atur tentang bahwa TPA tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona bahaya geologi.

 

(2). Kondisi Hidrogeologi yang menjelaskan bahwa TPA tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm / det, jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran, serta dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, maka harus diadakan masukan teknologi.

 

(3). Kemiringan Zona harus kurang dari 20%.

 

(4). Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbojet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain.

 

(5).  Tidak boleh pada daerah lindung / cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun.

 

Dari kilasan Ketentuan umum Dan Kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA tersebut di atas terlihat jelas bagaimana proses kebohongan yang sekarang telah berlanjut kepada proses pembodohan terhadap masyarakat  yang terbungkus rapih analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah Kab. Serang.

 

Bagaimana tidak berbagai item Ketentuan dan Kriteria tersebut banyak yang dikangkangi oleh  pemerintah daerah Kab. Serang dalam kajian amdalnya, contoh yang sangat nyata dan semua orang tahu walaupun tanpa kajian teknis yang mendalam bahwa kawasan Bojong Menteng merupakan Kawasan Rawan Banjir bahkan bukan periode ulang 25 tahunan namun Bojong Menteng terutama kawasan bakal TPST hamper setiap tahun terendam banjir.

 

Maka wajar ketika berbagai pertanyaan dan keraguan masyarakat terhadap Amdal tidak akan pernah terjawab oleh Pemkab Serang karena keyakinan masyarakat bahwa amdal tersebut tidak objektif, dipaksakan dan asal jadi memang benar adanya.

 

Ketiga mungkin ini yang sedang hangat adalah polemic terkait Perda Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah terutama Pasal 24 Huruf a yang berisi penegasan bahwa Desa Bojong Menteng adalah lokasi pembangunan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) dimana banyak pihak dari masyarakat mulai dari kalangan pemuda, kiai dan tokoh masyarakat yang merasa di bohongi bahkan di bodohi oleh para anggota DPRD Kab. Serang terutama anggota dewan yang mewakili dapil 3 Kab. Serang yang meliputi 6 kecamatan dan di wakili oleh 11 anggota DPRD Kab. Serang. Disahkannya perda tersebut dimana di dalamnya ada penegasan bahwa Desa Bojong Menteng adalah lokasi pembangunan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) dianggap sebuah bentuk penghianatan terhadap amanat masyarakat yang sejak tahun 2004 telah menyuarakan penolakan terhadap TPST Bojong Menteng.

 

Bahkan sebelum pengesahan perda tersebut sempat ada aksi demonstrasi dari masyarakat di depan gedung DPRD Kab. Serang yang menolak masuknya Desa Bojong Menteng sebagai Lokasi Pembangunan TPST Bojong Menteng. Ironis memang suara masyarakat yang begitu lantang dan gencar menyuarana penolakan terhadap rencana pembangunan TPST Bojong Menteng tidak berpengaruh terhadap keputusan ketuk palu pengesahan Perda Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah terutama yang tetap dalam Pasal 24 Huruf a menegaskan Desa Bojong Menteng adalah lokasi pembangunan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST).

 

Rasa kekecewaan yang sangat wajar ketika melihat kekuatan politis para wakil rakyat dari dapil 3 Kab. Serang yang mengemban amanat masyarakat tentang penolakan pembanguna TPST Bojong Menteng sebenarnya sangat mampuni untuk mengawal bahkan mempengaruhi hasil akhir perda yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mereka wakili, namun kenyataannya berkata lain setelah perda disahkan dan masyarakat kembali menggelar perlemen jalanan dan menyatakan sikap penolakan terhadap pembangunan TPST Bojong Menteng sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 10 Tahun 2011 Pasal 24 Huruf a, baru para wakil rakyat tersebut menyatakan akan memperjuangkan aspirasi masyarakat secara sungguh – sungguh dan akan mengevaluasi perda tersebut rbahkan mencabut perda RTRW.

 

Sungguh luar biasa komitmen dari para anggota dewan ini walaupun terbilang lambat tapi ini bisa menggambarkan meraka benar – benar bisa mengerti aspirasi dan kehendak dari masyarakat yang mereka wakili di DPRD Kab. Serang dan masyarakat tentunya mengharapkan tindakan nyata dari komitmen tersebut sehingga tidak berhenti pada politik pencitraan semata yang pastinya akan bermuara kembali kepada pembohongan dan pembodohan kepada masyarakat.

 

 

Di sisi lain, ibu tatu chasanah selaku Bupati Kab. Serang seharusnya harus lebih arif dan bijak dalam memanggapi aksi penolakan terhadap rencana pembangunan TPST Bojong Menteng, karena penolakan ini sudah berlangsung dari tahun 2004 semenjak penetapan Desa Bojong Menteng sebagai Lokasi TPST dan persepsi buruk terhadap sampah sudah terlanjur melekat sehingga masyarakat sudah tidak percaya dengan Pemkab Serang yang telah membodohi masarakat dengan AMDAL dan SK Penetapan TPST Bojong Menteng.

 

Harapan masyarakat sebenernya sangat sederhana yaitu adanya penjelasan secara rinci tentang sisi Positiv  dan Negativ dari TPSA RSL Bojong Menteng. Dan jika memang bupati mempunyai kepedulian terhadap masyarakat seharusnya Bupati menanggapi segala tuntutan , keluhan dan aspirasi masyarakat karena semua itu memang hak masyarakat dan masyarakat mempunyai kajian dan dasar hukum tersendiri, bukan hanya menyayangkan aksi penolakan tanpa turun langsung untuk kajian ulang bersama ke masyarakat yang masih gelisah dan merasa terancam masa depannya dengan rencana pembangunan TPST Bojong.(LLJ)

 

*Penulis : Achmad Irfan Hadiyana, Warga Bojong Menteng Kabupaten Serang.