Bencana Alam, Sempadan Pantai, Bantaran Sungai dan Kerusakan Alam (Oleh: Uday*)

0
280

Serang, fesbukbantennews.com (2/1/2019) – Kemarin (1/1/19) saya sempat memantau situasi di daerah pesisir, mulai dari wilayah Bojonegara-Puloampel-Suralaya-Merak-Cilegon-Ciwandan-Anyer-Cinangka-Carita hingga Labuan. Dari pesisir Bojonegara hingga ujung Anyer berjejer bangunan permanen, mulai dari pabrik-pabrik/industri, hotel, restoran, rumah penduduk, baik yang permanen maupun semi permanen hingga kedai-kedai kopi yang sunyi.

Cikujang Pandeglang , Salah satu lokasi yang terkena Tsunami .

Di wilayah ini tak nampak puing-puing. Hanya saja tanggal satu Januari kali ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya; jalan lengang; sepi. Jadi clear, 22 Desember yang lalu wilayah Anyer tak terkena tsunami, seperti yang menghiasi sejumlah media sepuluh hari terakhir.

Ketika memasuki wilayah Cinangka, suasana terasa berbeda. Di sisi kanan jalan (posisi pantai) begitu banyak bangunan yang rata dengan tanah. Hampir semua saung dan bangunan semi permanen luluh lantak, rata dengan tanah. Di sebelah kiri pun demikian. Rumah warga banyak yang turut tersapu ombak. Ada yang ambruk sebagian, ada pula yang nampak hanya keramik lanyainya.

Beberapa petugas masih nampak membantu warga yang menyelamatkan apa saja yang masih tersisa. Belasan mobil penyok masih teronggok, belum dievakuasi. Sesekali berpapasan dengan ambulance, mobil para relawan, petugas patroli dan mobil pengangkut logistik.

Kawasan wisata Carita yang biasanya penuh hiruk-pikuk di tiap akhir dan awal tahun baru, seperti kota mati. Sebagaimana yang dirasakan sahabat sy, pak Teja yang tinggal di kawasan Karangsari Carita. Ya, seperti kota mati.

Di daerah Teluk Labuan saya sempat berhenti. Posko dan Dapur Umum dari berbagai pihak (Kementrian Sosial, Dinas Sosial Provinsi, Tagana Kab. Tangerang) dengan tumpukan logistik di depannya. Mereka masih sibuk melakukan apa yg harus dilakukan. .

Begitu melihat kekiri, genangan air masih nampak di jalan dan rumah warga. Di gedung SD terlihat begitu banyak warga pengungsi banjir. Lima puluhan meter berikutnya, tepat di atas jembatan Cipunten Agung, air sungai masih meluap. Terlihat atap rumah warga, selebihnya hanya luapan air kecoklatan, yang dalam bahasa Sunda disebut “ngabeungbleu” alias tak mengalir.

Bangkai-bangkai kapal laut, perahu nelayan yang dihantam gelombang tsunami dan sampah berserakan di sepanjang sungai hingga muara. Belum satupun yang dievakuasi. Saat itu belum nampak satupun alat berat untuk membersihkan sungai.

Begitu bergerak ke tugu KB Labuan, ternyata jalan ke arah pasar pun masih tergenang air. Warga bertumpuk di pertigaan itu. Ada yang sekedar melihat situasi banjir, mengambil gambar atau membantu korban. Duka kita kian bertumpuk.

Tak lama berselang, hujan pun kembali turun, peluang air sungai surut pun tipis. Fiuhhhh.

LANGGANAN BANJIR

Di setiap penghujung tahun, Pandeglang memang rutin dilanda banjir. Sejak puluhan tahun yang lalu Pemda Pandeglang dan Pemprov Banten tahu benar soal ini.

Penyebab utamanya karena volume air hujan yang sangat tinggi; aliran sungai tersendat sampah; penyempitan sungai dan pendangkalan di muara sungai. Kondisi ini dilengkapi dengan kencangnya angin yang lahirkan ombak besar dan air laut pasang.

Di samping itu, gunung-gunung dan perbukitan, kian hari semakin gundul. Sehingga begitu hujan turun, air langsung mengalir tanpa pengendapan dan penyerapan. Pohon-pohon besar di hutan gunung yang semestinya menyimpan air, kini kebanyakan tinggal tunggul saja.

Di lingkungan masyarakat pesisir Pandeglang, iklim ini disebut “musim barat”. Sehingga jarang nelayan yang berani melaut, kecuali bagi yang nekat. Jika musim barat datang, biasanya Perum Pegadaian ramai. Banyak nelayan yang menggadaikan barang-barang miliknya untuk menutupi resiko dapur selama musim barat. Ya, mengatasi masalah tanpa masalah (katanya).

Daerah yang menjadi langganan banjir tentu saja yang berdekatan dengan sungai dan muara sungai. Kecamatan Labuan, Pagelaran, Patia, Panimbang, Sukaresmi, Sobang, Cigeulis, Munjul, Sindangresmi, Bojong, Picung, Cikeusik adalah daerah yang menjadi langganan banjir.

SEMPADAN PANTAI DAN BANTARAN SUNGAI

Undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah menjadi UU No.1 tahun 2014, kemudian Perpres No.51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, secara gamblang telah mengatur bagaimana pengelolaan wilayah pesisir.

Berapa meter jarak yang disyaratkan untuk mendirikan bangunan di bibir pantai, berapa meter jarak yang diwajibkan untuk mendirikan bangunan di sempadan pantai, semua terperinci dengan gamblang. Namun dalam prakteknya, begitu banyak bangunan yang melanggat UU tersebut.

Peraturan perundangan di atas sejatinya adalah untuk melindungi hak-hak rakyat untuk mendapat akses ke pantai dan sungai dengan mudah. Di balik itu juga tersimpan makna bahwa ancaman bencana alam (tsunami, longsor, banjir) senantiasa mengintai setiap saat.

Dalam kenyataannya, bangunan-bangunan itu kini semakin amburadul. Pemerintah Daerah dengan mudahnya memberikan ijin, menutup mata dari peraturan perundangan yang ada.

Jika pemerintah tegas, tentu pihak-pihak yang berusaha mendapatkan ijin mendirikan bangunan tidak akan mungkin memaksakan kehendaknya. Karena tidak tegas, maka inilah jadinya. Maka diduga kuat terjadi persekongkolan; jika ada pelicin, ijin pun mudah didapat, tak peduli aturan hukum.

Saya meyakini pula warga akan legowo jika direlokasi dari bibir pantai atau sungai, jika sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Sebagaimana statement sobat sy Ki Sunda Labuan, bahwa mereka masyarakat siap membuat petisi untuk membantu pemerintah dalam menertibkan bantaran sungai.

UJI NYALI GUBERNUR DAN PARA BUPATI/WALIKOTA

Angin segar sudah dihembuskan oleh Pemerintah Pusat. Tak tanggung-tanggung, tiga menteri menyampaikan statement yang patut disambut baik. Menteri PUPR misalnya menyatakan akan membangun rumah bagi warga yang tempat tinggalnya disapi tsunami. Tapi dengan syarat, lokasinya tidak di pinggir pantai.

Kemudian Menteri Pariwisata bahkan sudah terbuka menyampaikan statement agar membongkar seluruh hotel dan bangunan lainya yang melanggar batas minimal sempadan pantai (100 meter dari batas air saat pasang).

Demikian pula statement Menteri Kelautan dan Perikanan yang menghendaki hal yang sama, demi keamanan para tamu dari bencana tsunami. Hal ini disambut baik oleh pihak PHRI, setidaknya oleh PHRI Jakarta.

Inilah saatnya uji nyali bagi Gubernur, para Bupati dan Walikota di Banten. Apakah mereka memiliki komitment yang kuat dan sama untuk menegakkan peraturan perundangan garis sempadan pantai dan bantaran sungai? Apakah mereka juga punya komitment untuk menjaga dan melindungi rakyat dan lingkungan pantai dari pencemaran dan bencana tsunami, banjir dan longsor.
Akhir kata, semoga.(LLJ).

*Uday Suhada, Warga Pandegkang, Direktur Eksekutip ALIPP