Banten Darurat Agraria; Jalankan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik Agraria

0
346

Serang,fesbukbantennews.com (25/9/2017) -Kata agraria berasal dari bahasa latin yakni “ager” yang berarti lapangan atau sebidang tanah. Dalam konstitusi Indonesia, agraria dimaknai melalui Pasal 33 UUD 1945 yakni “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Arti agraria dalam terminologi konstitusi ditekankan dengan makna kekayaan alam. Sehingga secara luas agraria mencakup seluruh bidang diatas dan didalam tanah, samudera serta luar angkasa.

Serikat Petani Indonesia

Reforma juga berasal dari bahasa latin yang berarti perombakan. Sehingga reforma agraria adalah penataan ulang struktur kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria—terkhusus tanah—untuk kepentingan petani, buruh tani dan orang yang tak bertanah. Reforma agraria semakin diperkuat dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan pada tanggal 24 September 1960. Karena ruh UUPA untuk meredistribusikan tanah kepada petani, pada tahun 1963 Bung Karno menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) nomor 169/1963 yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 24 September diperingati sebagai hari tani.

Pemerintahan Jokowi-JK saat ini menempatkan reforma agraria sebagai program prioritas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah berjanji akan menjalankan reforma agraria seluas 9 juta ha dengan rincian 4,5 juta ha untuk legalisasi aset dan sertifikasi tanah, 4,1 juta hektar untuk pelepasan kawasan hutan dan hanya 0,4 juta hektar untuk redistribusi tanah yang berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) habis, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya.

Namun setelah hampir 3 tahun pemerintahan berjalan, reforma agraria belum dijalankan secara sungguh-sungguh. Hal ini dibuktikan dengan konflik-konflik agraria yang masih terjadi di berbagai daerah termasuk di Provinsi Banten. Penyelesaian konflik yang mangkrak contohnya terjadi antara petani di Kecamatan Cigemblong Kabupaten Lebak dengan PT. Pertiwi Lestari. Kemudian petani di Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang dengan PT. Perhutani, petani di Kecamatan Binuang, Kabupaten Serang dengan TNI AU dan yang baru-baru ini kembali memanas antara warga Pulau Sangiang, Kabupaten Serang dengan PT. Pondok Kalimaya Putih (PKP) Green Garden.

Dari konflik-konflik agraria yang masih berlangsung, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Provinsi Banten semakin meluas dan meruncing. Merujuk Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten pada tahun 2013 menyatakan laju penyusutan luas baku lahan pertanian di Banten dalam lima tahun terakhir cukup mengkhawatirkan yakni sebesar mencapai 0,14% per tahun, dengan kata lain telah menghilang sekitar 273 ha tiap tahun atau sekitar 5 ha per minggu. Penyusutan lahan pertanian secara pasti diakibatkan oleh alih fungsi lahan pertanian yang semakin akut. Semestinya Provinsi Banten menjalankan Peraturan Daerah (Perda) No. 5/2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Hal ini ditengarai menjadi pemicu berkurangnya jumlah keluarga petani di Banten secara drastis, yakni mencapai 254.527 keluarga petani dalam kurun waktu satu dekade (tahun 2003 – 2013) terakhir. Artinya setiap tahun rata-rata terdapat 25.452 keluarga petani yang meninggalkan lahan pertanian atau setiap satu jam jumlah petani berkurang sebanyak 3 keluarga petani.

Ketimpangan juga berakibat pada peningkatan angka kemiskinan dan penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statustik (BPS) bulan Maret 2017, angka kemiskinan di Provinsi Banten mengalami kenaikan sebesar 17,3 ribu orang (0,09 persen), dari 657,74 ribu orang (5,36 persen) pada September 2016 menjadi 675,04 ribu orang (5,45 persen) pada Maret 2017. Dalam waktu yang berdekatan, NTP Provinsi Banten mengalami penurunan yang signifikan dari 106,57 pada bulan Februari 2016 menjadi 99,83 pada Agustus 2017.

Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, Banten telah memasuki situasi darurat agraria. Oleh karena itu, pada peringatan Hari Tani 2017 ini kami Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (DPW SPI) Banten dan Damar Leuit, mendesak Pemerintah Provinsi Banten untuk:

Melaksanakan reforma agraria sejati dengan meredistribusikan tanah kepada petani;

Menyelesaikan konflik-konflik agraria di Banten;

Menghentikan kriminalisasi petani dan pejuang agraria di Banten;

Membentuk lembaga pelaksana reforma agraria di Provinsi Banten;

Menjalankan Perda 5/2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.(rdn/LLJ)

 

Penulis :
Yusup Ketua DPW SPI (Serikat Petani Indonesia) Banten & Angga Hermanda Sekertaris Damar Leuit.